Pengen tahu REVIEW BOOK yang oke?? Atau pengen baca CERPEN karya orisinil dari anieztaa? Welcome to my worlds, It's all about "ANIEZTAA FEELS"

Sunday, January 24, 2010

a reply from love

“Kita udahan aja ya, Ma. Aku yakin kamu pasti bakal ketemu sama cowok yang jauh lebih baik dari aku. Kamu cantik, pintar, baik pasti banyak yang ngantre buat bisa jadian sama kamu.” Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Ramon masih terngiang-ngiang di telinga Emma. Emma tidak mengeluarkan air mata setitik pun meskipun rasa kecewa pada Ramon sangatlah besar. Ini memang sudah biasa untuk Emma, diputus oleh pacarnya. Sudah kesekian kalinya ia diputuskan oleh cowoknya, meski terkadang ia yang minta putus tapi lebih sering ia yang diputuskan oleh pacarnya. Mungkin sebagian dari mereka menyesal setelah mengenal Emma lebih jauh, pikir Emma.

Emma bingung harus menyalahkan siapa. Apakah dia harus menyalahkan dirinya yang mungkin membosankan bagi cowok ataukah dia harus menyalahkan cowok di luar sana yang tak mau menerima dirinya apa adanya. Semua ucapan dan janji manis saat mereka mendekatinya tak terbukti saat Emma mulai membuka hatinya untuk mereka. Padahal ini baru sekelas pacaran, gimana jadinya kalo dia sudah married? Pasti kawin-cerai mulu nantinya. Hufffftt…

Meskipun Emma sering kecewa dengan pilihannya, itu tak membuatnya menyerah akan cinta. Dia terus berusaha untuk menemukan Mr. Right yang akan menemaninya hingga maut memisahkan. Ya, pikiran Emma memang telah jauh ke depan. Ia tak pernah main-main dengan semua pilihannya. Ia pacaran bukan hanya untuk bersenang-senang melainkan untuk merajut hubungan yang lebih serius.

“Apa semua cowok akan lari jika diajak untuk serius?” Pikir Emma sambil terus melangkahkan kakinya tanpa arah. Emma merasa perasaannya lega jika ia berpikir sambil terus berjalan tanpa arah. Berjalan dan terus berjalan sampai ia menemukan jawaban dari semua pertanyaannya. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya pada sebuah parit. Ia mendekati parit itu. Di sana ia melihat sehelai daun yang hanyut oleh aliran air parit itu. Daun itu terombang-ambing ke kiri dan ke kanan mengikuti aliran air dengan tenang. Emma tersenyum. Kini telah ia temukan jawaban dari pertanyannya sedari tadi.

^^_^^

Emma berjalan menuju perpustakaan dengan tergesa-gesa. Dia harus segera mencari bahan untuk tugas essay Bahasa Indonesia karena deadline untuk pengumpulan tugas adalah lusa nanti. Saat sedang berjalan ia berpapasan dan bertemu mata dengan seorang cowok yang sepertinya anak sosial, ia tak tahu namanya. Emma memang selalu cuek dengan temannya yang tak dikenalnya. Padahal mereka satu tingkatan dan satu sekolah tapi tetap saja ia tak peduli dengan orang yang tak dikenalnya. Emma lalu mengalihkan matanya kembali ke depan dan berlalu cepat ke perpus. Ia tak sadar cowok itu berhenti dan menatapnya dari belakang.

^^_^^

Emma menatap jam tangannya dengan sebal. Sudah setengah jam ia berdiri di situ menunggu Nola, sahabatnya. Mereka berdua memang selalu pulang sekolah bareng. Tapi hari ini Nola ada janji dengan Beni anak cowok kelas sebelah yang kayaknya naksir Nola. Kesabaran Emma sudah hampir habis saat tiba-tiba ia mendengar alunan nada piano dari ruang musik. Bulu kuduk Emma langsung berdiri. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri namun tak ada seorang pun yang lewat karena jam pulang sekolah udah setengah jam berlalu. Ia sering mendengar desas desus jika ruang musik sekolahnya berhantu. Menurut desas desus, sering ada bunyi piano dari dalam ruangan yang terkunci itu. Emma bergidik ngeri. Ia tak bisa bergerak saking takutnya. Ia duduk terpaku sambil memejamkan mata dan berharap Nola segera datang. Mulutnya komat-kamit membaca doa untuk mengusir setan. Jantungnya berdegup kencang.

Alunan piano itu semakin menjadi dengan irama yang cepat dan kencang seperti di film-film horror yang pernah ia tonton. Setan yang memainkan piano itu seolah sedang marah. Emma menutup telinganya rapat-rapat supaya suara itu tak terdengar. Dan ia berhasil alunan piano itu tak terdengar lagi. Namun, yang kini ia dengar adalah suara langkah kaki berat yang mendekatinya. Emma tak berani membuka matanya, ia hafal benar dengan langkah kaki Nola yang ringan dan setengah berlari ceria. Ini bukan langkah kaki Nola. Langkah kaki itu berhenti di depannya. Emma menundukkan kepalanya sambil terus mengucap doa-doa. Ia bisa rasakan nafas berat setan itu. Emma ingin berteriak namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia ingin menangis saking ketakutannya.

“Hai!” sapa setan itu. Tunggu, sepertinya ada yang salah. Setan itu menyapanya “hai”. Setolol-tololnya Emma ia tahu setan tak mungkin seramah itu mengatakan “hai” padanya. Ia mulai membuka matanya pelan-pelan dan melihat sebuah sosok laki-laki di depannya. Laki-laki yang memakai seragam putih abu-abu seperti dirinya. Emma lega bukan main karena yang di hadapannya adalah teman sekolahnya. Saking leganya tanpa sadar ia memeluk laki-laki di depannya itu karena merasa bersyukur telah terselamatkan dari teror alunan piano.

“Untung kamu lewat sini,’’ ucap Emma lega sambil menangis sehingga membasahi seragam teman sekolahnya. Ia melepaskan pelukannya dan menatap siapa pahlawannya itu. “Lho, kamu!” Seru Emma kaget sambil mengusap air matanya. Kini mukanya bersemu merah karena telah memeluk cowok itu dengan noraknya sambil nangis-nangis. ­Image­nya yang selama ini ia jaga langsung luntur.

“Hai, kamu baik-baik saja kan?” tanya cowok itu kemudian. Bukannya menjawab pertanyaan, Emma malah kabur dan berlari kencang karena ia benar-benar malu karena perbuatannya yang norak. Ia terus berlari keluar sekolah sambil terisak saking malunya. Ia tak punya muka jika nanti ia bertemu dengan cowok itu. Cowok yang sering ia pergoki mencuri pandang padanya. Cowok yang bertemu mata dengannya saat akan ke perpus. Dan cowok yang ‘Entah Siapa Namanya.’

^^_^^

Emma berangkat ke sekolah dengan malas. Ia masih malu bila mengingat kejadian kemarin. Ia takut di sekolah nanti ia menjadi bahan pembicaraan anak-anak. Ia takut cowok itu mengatakan kejadian memalukan kemaren pada teman-temannya. Emma berimajinasi sendiri membayangkan cowok itu mengatakan seperti ini, “Eh, tahu nggak kemaren ada anak ilmu alam meluk-meluk gue sambil nangis-nangis nggak jelas. Gila ya dia? Gue shock banget tahu-tahu gue di peluk kayak gitu.” Emma lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri membayangkan ia akan menjadi bahan omongan seisi sekolah. Ia juga membayangkan ia akan di cap sebagai cewek aneh musim ini. “Nggaaaaaaaaaaaaaaak!!” teriaknya tiba-tiba sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya menatapnya. Emma salah tingkah, lagi-lagi ia mempermalukan dirinya sendiri. Ia bergegas berjalan cepat sambil merapikan rambut dan seragamnya seolah menjawab pertanyaan orang-orang yang memandangnya dan mendjudge “Orang Aneh” bahwa dia baik-baik saja dan tentu saja “NORMAL.”

Emma terus melangkahkan kakinya hingga tak terasa ia telah sampai di gerbang sekolahnya. Dia masih belum menemukan jawaban dari kekalutannya. Dengan lunglai ia segera masuk ke dalam lingkungan sekolahnya. Emma menepuk jidatnya. “Oh My God!” Untuk sampai ke kelasnya di kelas IA 3, ia terlebih dahulu harus melewati jurusan ilmu sosial. Tak ada jalan lain karena kelasnya berada di pojokan.

Emma menarik nafas dalam-dalam lalu menghempaskannya. Ia memantapkan langkahnya dengan cepat saat melewati jurusan Ilmu Sosial. Ia melirik dari sudut matanya, memperhatikan jika ada yang berbisik-bisik sambil menatapnya. Ia mencari-cari dengan sudut matanya namun semuanya berjalan seperti biasa. Emma mulai memperlambat langkahnya. Ia tak menemukan keganjilan yang menggunjing dirinya. Anak-anak social itu sibuk dengan urusan masing-masing. Ketawa-ketiwi namun tak menunjukkan bahwa mereka ketawa karena dirinya.

Emma terus berjalan menuju ke kelasnya. Di sana juga semua terkendali. Berjalan seperti biasanya. Tak ada yang aneh.

Tak lama kemudian matanya tertuju pada sesosok cewek yang dikuncir kuda sedang cengar-cengir menatap layar ponselnya dengan innocent. Emma bergegas menghampirinya. “Nol, kemaren kamu kemana aja sih? Aku nungguin kamu setengah jam-an tahu!” Semprot Emma langsung pada sahabatnya satu itu.

Bukannya menciut karena dimarahin Emma, Nola justru sumringah melihat kedatangan Emma. “Whuaaa…akhirnya kamu datang juga Ma. Uda aku tungguin dari tadi kamu. Kamu ketinggalan hot news hari ini.”

Nyali Emma yang kini malah ciut. Emma menggigit bibirnya tanda ia gugup dengan berita yang akan disampaikan Nola. Emma mulai berprasangka buruk. “Berita apaan? Jangan-jangan bener kejadian kemaren jadi hot news hari ini,” pikirnya tak tenang.

“Hmmm….tebak apa coba?”

Emma yang sedang gugup jadi jengkel. “Ya mana aku tahu berita apaan. Cepet bilang apa?” desak Emma sambil menggigiti bibirnya yang merah.

“Aku jadian sama Beni! Kyaaa!” tukas Nola yang histeris dengan sendirinya.

Emma bengong. Ia mengernyitkan dahinya. “Ada berita tentang aku gak Nol?”

“Hmm? Emang kamu ngapain Ma?”

Emma menarik nafas lega. “Hmm… Nggak apa-apa kok.” Jawabnya lega.

“Eh, tadi kayaknya pas kamu dateng kamu bilang sesuatu sama aku deh Ma. Apaan?”

“Nggak jadi. Lupa tadi mau ngomong apa!” Sahut Emma cemberut.

Nola yang lagi berbunga-bunga mengiyakan saja tanpa memperhatikan ekspresi wajah Emma. “Ih, kamu jahat banget sih Ma. Masa sahabat kamu jadian gak ngasih ucapan?”

“Heh? Ucapan apa? Terima kasih?” tanya Emma yang lagi nggak ngeh denger Nola dari tadi.

“Gimana sih Ma? Kok malah ucapan terima kasih? Harusnya kamu kasih selamat sama aku. Huh,” tukas Nola bersungut-sungut karena Emma ternyata mengacuhkannya sedari tadi. Tapi ia tak peduli. Ia tak ingin merusak hari yang indah dengan status barunya sebagai Nona Beni.

^^_^^

Emma berjalan bersama Nola ke kantin. Mau tak mau mereka harus melewati jurusan ilmu sosial. Emma memastikan bahwa semuanya aman sehingga ia baru lewat. Ia tak melihat tanda-tanda kehadiran cowok itu. Ia lalu berjalan dengan tenang berdua dengan Nola. Nola diam saja, ia sibuk smsan dengan Beni meskipun mereka hanya berbeda kelas. Saat melewati kelas IA 2 Nola tersenyum manja pada Beni yang sedang duduk-duduk di kelas sibuk mengerjakan PR. Emma jijik melihat kelakuan temannya satu ini. Perasaan dia kalo pacaran nggak selebay Nola. Emma menarik-narik Nola yang tak bisa melepaskan pandangan dari pacar barunya. Perutnya sudah keroncongan tak bisa di ajak kompromi. Emma sibuk menarik-narik Nola tanpa memperhatikan depannya. Bukkk. Ia menabrak seseorang di depannya. “Aduh, sorry, sorry aku nggak liat depan tadi,” pinta Emma pada orang yang ditabraknya.

“Iya nggak apa-apa kok,” balas orang itu. Emma yang membersihkan seragam cowok yang ditabraknya karena refleks kaget mendengar suara yang familiar itu. Suara yang mungkin nggak bakal ia lupakan seumur hidupnya. Emma mendongak menatap siapa yang ditabraknya. Ia shock dan langsung balik ke kelasnya tanpa peduli lagi dengan perutnya. Gengsinya mengalahkan rasa laparnya. Jantungnya berdegup kencang karena berlari. Emma lalu mulai mengatur nafasnya.

“Ma, kamu kenapa sih?” tanya Nola yang ternyata menyusulnya. “Hari ini kamu tuh bener-bener aneh. Kesurupan setan WC ya Ma?”

Emma mengatur nafasnya lalu berbicara. “Nol, kamu tahu nggak cowok yang aku tabrak tadi itu siapa?”

Nola seakan tak percaya dengan pertanyaan sahabatnya. “Hello? Ma, emang kemana aja sih kamu selama ini? Kamu nggak tahu Arjuna Hermawan?”

Emma menggeleng pelan dan memasang muka kucing minta dikasihani. “Emang siapa dia?”

“Aduh, Emmaaaaaa!” teriak Nola yang membuat seisi kelas menoleh ke arah mereka berdua. “Kamu itu dua tahun sekolah di sini masih aja belum apal temen-temen satu sekolah?”

Emma lagi-lagi menggeleng. “Yang aku kenal cuma yang pernah sekelas aja sama aku.”

Nola menghela nafas panjang. Menghadapi kecuekan Emma memang butuh kesabaran. “Ma, sikap cuek kamu itu harus diilangin. Nggak bagus tahu. Nggak lucu kan kalo nama guru yang nggak ngajar kamu terus kamu nggak kenal.” Nola mengatur nafas. “Arjuna itu anak kelas ilmu sosial.”

“Iya, kalo itu aku juga tahu Nol.”

“Diem dulu!” perintah Nola galak. Emma ciut dan langsung diam. “Dia itu seorang pianis yang bikin bangga sekolah kita. Dia jenius musik. Memang sih dia sering nggak masuk sekolah karena harus berkompetisi di luar kota bahkan tak jarang di luar negeri.” Tiba-tiba Nola tersipu malu dengan sendirinya. “Dan juga, dia itu cakeeeep. Idola cewek-cewek sekolah kita di samping anak-anak basket.”

“Nol, inget tuh si Beni. Baru jadian juga kemaren,” sela Emma.

“Beda dong Emma. Kalo Beni aku cinta sama dia tapi kalo Arjuna, aku ngefans sama dia.” Tukas Nola mengerjapkan mata genit. “Selera kamu Ma tuh rendah banget sih, masa kamu nggak liat kegantengan Arjuna? Pantes mantan-mantan kamu standar semua. Huh.”

“Eh? Emang si Beni ganteng apa? Masih mending juga mantanku yang terakhir. Dekil gitu juga,” balas Emma sengit.

Kata-kata itu menohok Nola. Ia tak bisa membalas perkataan Emma karena emang kenyataannya begitu. “Nggak apa-apa, yang penting aku cinta. Hehe.”

Emma geleng-geleng kepala. “Nah, kalah tuh baru ngomong gitu.”

“Udah lupain. Ngomong-ngomong kenapa kamu tadi kabur habis nabrak Arjuna? Jangan-jangan kamu juga udah mulai terpikat sama kegantengannya ya Ma?”

“Enggaklah!” sahut Emma cepat. “Nggak ada apa-apa kok. Kaget aja tadi nabrak orang.” Tukas Emma asal-asalan, ia terlalu malu untuk bercerita pada sahabatnya. Bisa-bisa Nola mengejeknya habis-habisan nanti.

^^_^^

Hari ini Emma pulang sendirian. Nola pulang bareng Beni. Tak masalah bagi Emma pulang sendirian. Ia paham Nola terkadang pasti pengen pulang bareng pacarnya. Ia berjalan sendirian dengan berpikir seperti biasanya. Ia menikmati tiap langkah saat menginjakkan kakinya. Tiba-tiba ada seseorang yang menjajari langkahnya. Namun Emma tak peduli ia tetap saja asik dengan pikirannya sendiri.

“Hai!” sapa orang yang menjajarinya.

Emma yang hafal benar suara ini hendak kabur, namun sayang ia terlambat. Tangannya telah dipegang oleh Arjuna. Ia berusaha memberontak namun percuma saja genggaman Arjuna kuat.

“Sakit,” erang Emma yang sudah capek berusaha melepaskan diri.

“Ups, sorry. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu Ma. Aku cuma pengen nanya sama kamu aja kok.” Tukas Arjuna melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tangan Emma.

“Ma? Darimana kamu tahu namaku?”

“Masa temen satu sekolah nggak tahu namanya. Nama kamu Emma kan? Emma Sagita.”

Emma tertohok sekaligus kaget. Dia nggak nyangka Arjuna sampai hafal nama lengkapnya. Ia mengangguk. Emma tak berani menatap Arjuna, ia benar-benar tak punya muka untuk berhadapan dengan Arjuna.

“Kamu kenapa sih kalo ketemu aku selalu lari, emang mukaku kayak setan ya?”

“Uhm…Ehm, sebenarnya aku malu ketemu sama kamu. Gara-gara waktu itu aku refleks meluk kamu di depan ruang musik,” tukas Emma terbata-bata.

Arjuna tersenyum. “Ya ampun, jadi cuma gara-gara itu kamu kabur kalo ngeliat aku?”

Emma mengangguk. “Sorry, waktu itu aku takut banget denger bunyi piano di ruang musik. Kamu denger juga nggak? Serem banget, mana hantunya kayaknya lagi marah karena main pianonya kasar.”

Arjuna kembali tersenyum. Emma mulai mengira Arjuna sinting karena dari tadi senyam-senyum mulu. Atau jangan-jangan justru Arjuna yang menganggapnya sinting karena ada hantu di siang bolong. “Suara piano yang kamu denger itu bukan hantu yang main tapi aku.” Ucap Arjuna menahan geli melihat ekspresi wajah ngeri Emma.

Emma melongo. “Kok bisa? Kan ruangannya di kunci?”

“Aku diberi guru musik kita keistimewaan untuk membawa kuncinya supaya bisa bermain piano sesukaku.”

Emma teringat perkataan Nola bahwa Arjuna adalah seorang pianis handal jadi dia tak bertanya lebih jauh lagi. “Oh…” Emma menghela nafas. “Kamu waktu itu sedang marah ya?” tanya Emma sambil kembali berjalan diikuti oleh Arjuna.

Arjuna menghela nafas. “Aku waktu itu sedang ada masalah Ma.” Tukas Arjuna sambil memandang jalan dengan tatapan kosong.

“Eh? Sorry, aku nggak ada maksud buat ngungkit. Kita ganti topik aja deh. Hmm, hari ini cuacanya mendung ya?”

Arjuna tersenyum geli. “Kamu itu lucu deh Ma. Nggak apa-apa kok. Aku kemaren itu berantem sama papaku. Papaku pengen aku fokus di sekolah dan bisa jadi penerus perusahaannya. Tapi saat lulus nanti aku ingin melanjutkan ke sekolah musik, aku pengen jadi pianis yang bisa menciptakan musik yang bisa membangkitkan emosi orang yang mendengarnya.”

Emma memperhatikan Arjuna. “Papa kamu ngelarang kamu main piano? Padahal kamu udah sehebat itu. Terus rencana kamu selanjutnya apa?”

“Entahlah, mungkin aku yang bakal mengalah. Papaku udah tua Ma. Aku nggak pengen dia kenapa-kenapa. Aku akan berlatih piano sendiri dan bereksplorasi sendiri. Apa salahnya menyenangkan orang tua meski terkadang itu menyakiti diri sendiri. Lagipula pengorbanan seorang anak tak sebanding dengan pengorbanan orang tua yang telah membesarkan kita dengan penuh kasih.”

Emma mengangguk. Diam-diam ia salut dengan kedewasaan dan rasa bertanggung jawab Arjuna sebagai seorang anak. “Kok kamu mau cerita ini semua sama aku? Padahal kita kan baru aja kenal? Apalagi ini masalah sensitive kamu.”

“Aku sendiri juga nggak tahu Ma. Aku langsung ngerasa nyaman aja cerita sama kamu. Padahal aku bukan tipe orang yang terbuka.” Arjuna tersenyum. “Oh ya, aku boleh minta nomor hape kamu nggak Ma?”

“Tentu aja.” Mereka bertukaran nomor hape lantas berpamitan karena jalan pulang yang diambil berbeda.

^^_^^

Hari berlalu dengan cepat. Oktober, November, Desember, tak terasa tiga bulan telah terlewati. Emma dan Arjuna semakin dekat dan mereka berdua memutuskan untuk berpacaran. Kali ini Emma mengubah gaya pacarannya dengan membiarkan semua mengalir, let it flow! Ia tak ingin berpikiran terlalu tinggi karena jika jatuh pasti akan sangat sakit. Dan lagi, baginya sosok Arjuna sangat istimewa untuk dirinya. Ia berbeda dengan pacar-pacarnya sebelumnya. Arjuna adalah sosok cowok yang dewasa dan bertanggung jawab. Cocok untuk Emma yang masih kekanak-kanakan. Saling melengkapi.

“Ma, ntar malem keluar yuk? Ada yang pengin aku omongin sama kamu.” Ajak Arjuna saat pulang sekolah.

Emma menatap pacarnya, Arjuna memasang muka serius. Jantungnya berdegup kencang. Meskipun telah sebulan berpacaran, Emma masih saja deg-degan saat menatap mata Arjuna yang tajam. Padahal sebelumnya tak pernah seperti itu. Kali ini Emma deg-degan bukan hanya karena menatap mata Arjuna namun ia juga takut dengan apa yang akan dikatakan Arjuna nanti malam. Mantan-mantannya dulu selalu mengatakan kata-kata itu saat mereka memutusnya. Emma takut diputus Arjuna. Takut banget. Dia takut kehilangan Arjuna karena Emma terlanjur cinta padanya. Ia takut Arjuna hilang darinya dengan membawa sebagian dari dirinya. Emma hanya mengangguk menanggapi ajakan Arjuna. Sepanjang perjalanan pulang ia lebih banyak diam. Emma bergulat sendiri dengan pikirannya.

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Emma pada dirinya sendiri sesampainya di rumah. “Tuhan, tolooong! Sekali ini saja kumohon pada-Mu, biarkan aku memiliki cintaku. Kumohon Tuhan, Emma nggak pengen kehilangan Arjuna. Selama ini Emma selalu kecewa dengan pilihan Emma sendiri. Kumohon untuk kali ini saja biarkan Emma bersama Arjuna. Emma sudah letih dikecewakan. Untuk kali ini saja,” doa Emma setelah salat dzuhur. Ia menitikkan air matanya deras karena ia tak ingin kecewa untuk kesekian kali dan dengan orang yang benar-benar ia cintai.

^^_^^

Waktu janjian Emma dengan Arjuna telah tiba. Emma hanya memakai pakaian seadanya. Tanpa dandan seperti biasanya. Rambutnya hanya ia cepol asal-asalan. “Hufft…akhirnya tiba juga waktunya,” keluh Emma seraya menghela nafas. Kali ini ia pasrah, ia sudah capek menangis. Bagaimanapun apa yang seharusnya terjadi akan terjadi cepat atau lambat. Bunyi klakson motor Arjuna memberi tanda bagi Emma untuk segera keluar.

Emma mengenakan helm dan membonceng Arjuna. Ia tak tahu akan dibawa kemana oleh pacarnya yang dalam beberapa menit nanti bakal jadi mantannya. Sepanjang perjalanan Emma terdiam. Demikian pula dengan Arjuna tak mengucapkan sepatah kata pun pada Emma. Arjuna tak tahu bahwa di belakangnya Emma sedang menangis tanpa suara. Tiba-tiba Emma memeluknya erat. Arjuna hanya tersenyum di balik helm full face-nya. Mungkin itu pelukan terakhirnya. Sebentar lagi Arjuna akan menghilang darinya.

Arjuna berhenti di sebuah tempat yang dikenalnya. Bahkan sangat dikenalnya karena ia hampir tiga tahun bersekolah di sana. “Kenapa Arjuna membawanya ke sekolah?” Pikir Emma heran. Emma lalu berpikir cepat, “Mungkin ia ingin mengakhiri hubungan mereka di sini. Di sekolah. Tempat mereka juga mengawali hubungan mereka.

Arjuna menarik tangan Emma untuk masuk. Namun, Emma menahannya. Ia tak bergeming dari tempatnya berpijak. “Mau kemana? Udah di sini aja ngomongnya Arjuna!” pinta Emma dengan susah payah menahan air matanya untuk tidak menetes. Ia ingin terlihat tegar di depan Arjuna.

Arjuna tak memedulikan permintaan Emma, ia justru menarik pergelangan tangan Emma lebih kuat sehingga Emma terjungkal ke depan. “Arjuna!” teriaknya. “Cukup! Kamu mau bikin aku tambah sakit hati dengan membawaku ke lapangan basket tempat kita jadian?”

Arjuna melepaskan pergelangan tangan Emma. “Maksud kamu Ma? Bikin kamu sakit hati?”

“Aku tahu kok kenapa kamu ngajak ke sini dan aku tahu apa yang bakal kamu omongin sama aku. Kamu mau minta putus kan? Aku tahu aku emang cewek yang ngebosenin. Aku udah terbiasa di putus cowok duluan. Dan…Hmmmf.” Emma terdiam karena tiba-tiba Arjuna mencium bibirnya. Air matanya kini tak lagi bisa terbendung. Air matanya jatuh mengalir deras ke pipinya.

“Siapa yang minta putus? Dasar sok tahu!” tukas Arjuna seraya menarik Emma ke arah lapangan basket. Emma kini sudah tak berdaya. Ia hanya terus-terusan mengusap air matanya yang tak berhenti keluar. Arjuna tetap diam dan berjalan sambil menggandeng tangan Emma.

Setibanya di lapangan basket Emma tersentak kaget. Arjuna melepaskan tangan Emma. Emma masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia mendekati lilin-lilin kecil yang diletakkan di tengah lapangan itu dan membaca huruf demi huruf yang dibentuk oleh lilin-lilin itu. Emma merangkai huruf-huruf itu hingga terbentuk lah dua buah nama dengan dibatasi oleh lilin-lilin yang membentuk hati.

ARJUNA


EMMA

Kali ini air mata Emma berubah menjadi air mata haru. Ini benar-benar manis. Belum sempat Emma mengatakan sepatah kata pun Arjuna mendahuluinya. “Emma, kamu mau nggak tunangan sama aku?” tanya Arjuna dengan berlutut di depan Emma seraya memegang kotak kecil dengan sebuah cincin di dalamnya. Emma yang sedari tadi belum percaya dengan apa yang dilihatnya makin tak percaya saja sehingga ia mencubit-cubit pipinya sendiri hingga merah. “Ma, yang kamu liat ini nyata. Bukan mimpi.” Tukas Arjuna meyakinkan Emma.

Emma pun menyadari bahwa ini kenyataan. Semuanya ini indah dan nyata. Ia tersenyum. “Ya, aku mau.” Jawab Emma yang masih belum lepas dari rasa harunya.

Arjuna pun berdiri lalu memakaikan cincin itu di jari manis Emma. Pas. “Kok bisa pas?” tanya Emma heran.

“Karena aku cinta kamu. Cinta itu ajaib.” Tukas Arjuna menggombal.

Emma tersenyum dan dalam hati ia bersyukur pada Tuhan yang tak hanya mengabulkan doanya namun juga memberinya lebih daripada yang ia minta. “Kenapa cepet banget?”

“Kamu nggak suka Ma?”

Emma segera menggeleng cepat. Mukanya berbinar-binar. Ia terlihat sangat cantik saat terkena cahaya lilin.

“Karena aku nggak pengin kehilangan kamu Emma. Kamu belahan jiwaku. Meski kita jauh tak perlu khawatir lagi.”

Emma mengernyitkan dahi. “Maksud kamu?”

“Setelah lulus SMA nanti aku bakal sekolah di Harvard Amerika Ma. Papaku pengin aku nerusin di sana. Dan di sana juga aku bisa mengembangkan bakatku bermain piano.”

Emma ternganga mendengar sebuah kabar yang baru saja keluar dari mulut kekasihnya. Ia segera memeluk Arjuna dan menangis.

“Cinta kita nggak bakal pupus jika hanya terpisahkan laut sayang.” Tukas Arjuna sambil mengusap kepala Emma dengan penuh kasih.

Emma melepaskan pelukannya. Ia tak bisa banyak bicara. Hari ini penuh dengan hal yang tak terduga. Arjuna mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Emma lalu mengecup kening Emma.

“Ya, cinta kita nggak bakal mati meski terpisah lautan.” Ulang Emma mantap dengan menatap mata tajam Arjuna yang berubah teduh malam itu.

^^_^^*

1 comment:

  1. nis.. kapan buatnya? bagus banget ni..
    dah pernah dikirim?

    ReplyDelete