Pengen tahu REVIEW BOOK yang oke?? Atau pengen baca CERPEN karya orisinil dari anieztaa? Welcome to my worlds, It's all about "ANIEZTAA FEELS"

Thursday, January 28, 2010

See in The Dark!

I see the stars which is spreads in the dark sky,,
Oh God,, That's so beautiful

There's various of that stars,,
Some stars looks big and glow brightly,,
And others looks small and just glow dreary...
Both have a some role to illuminate the earth in the dark...

But, i like those stars...
Yeahh,,like me...
An ordinary girl who isn't popular...
But, i believe i can be helpful people around me...





Hoodoo but Plesure

Huh...hari ini apes banget.
hahhah

Planning buat maen ma shabat2ku ke taman rekreasi pantai Marina, Semarang...
Berangkat molor, yang harusnya jam 07.30 jadi 08.15...huhhuh (khas Indonesia)
Go to Semarang langsung menuju pantai Marina...
And?? Huh,, What the hell!! di pintu masuk tertampang papan "libur kurang lebih 4 bulan"...
Oh My Goat!! Ternyata lagi ada renovasi di sana,,

dila : "Ke pantai maroon aja!"
momoy : "Waduh! Aku nggak apal jalannya..."
aku : "Yg aku tw deket bandara Ahmad Yani. Gimana kalo qta jalan ksana dulu?"
dila : "Betul, betul, betul!"

Sesampainya qta di bundaran kali banteng bingung harus menuju ke arah mana??
Ada lima simpangan getoo??

Setelah tanya mas2, disarankan untuk lwat graha padma biar deket,,
Emang dasar qta'y lagi apes...
Gitu sampe sana ternyata jembatan yg hrusnya dilewati putus,,@,@
ZZZzzzz.....

Akhir cerita, acara jalan2 kita berakhir dengan foto2 di graha padma...
Kurang kerjaan ga sih??
Tapi, disamping itu semua kita seneng cz akhirnya setelah sekian lama kumpul juga...
Having fun in the journey, hmmm yeaahh that's appreciable

Monday, January 25, 2010

LIVE

Live like you're dying and never stop trying
It's all you can do, use what's been given to you

Potongan lagu lenka yang berjudul Live like you're dying,,
Hidup itu berusaha,
Hidup itu penuh perjuangan,
Hidup itu saat ini, merencanakan esok, dan terkadang perlu mengingat kemarin,
Hidup itu penuh teka-teki, perlu trik untuk melaluinya,
Hidup itu berwarna,
Hidup itu roda, kadang di atas kadang di bawah
Hidup itu lika-liku, kadang ada masalah yang harus kita pecahkan

yang terpenting dari itu semua adalah nikmati dan syukuri hidup kita saat ini. Karena, jika kita menikmati hidup ini kita akan selalu bisa mengontrol hidup kita masing-masing.

filsafat air

Air setetes menghidupkan, 
Air sewabah mematikan,  
Air meresap di udara, tanah, kayu, kertas, dsb. 
Walau demikian, air tetap air,..... dapat terpisah dan bersatu dg yg lain. 
Air tidak mengisolasikan diri dari dunia untuk menjaga ksejatian diri.  
Air merambat dengan gaya kapilaritas dengan tenang, merata, dari bawah ke atas 
Mengejar sukses, dilakukan dengan pengaturan jadual,
yang mampu mencakup semua kesibukan tanpa merombak besar-besaran, 
mampu mengerjakan banyak hal saat bersamaan.  
Air mengalir dari tempat yg tinggi ke tempat yg rendah 
Walau dalam merambat air ke atas, 
tetapi air tidak lupa menuju ke bawah, merendahkan diri,
dan menjadi kekuatan besar ketika menuju ke bawah, kekuatan magnetis.  
Air mengikuti bentuk wadahnya. 
Air membiarkan dirinya menjadi isi, tidak melakukan perlawanan direct, dengan kekuatan. 
Air menyambut kekuatan dan menggabungkannya dalam dirinya tanpa gesekan, 
dan melepas kekuatan tersebut, tanpa menghilangkan apa pun dari dalam dirinya. 
Air tidak memaksakan diri menjadi sesuatu bentuk tetap masa kini, lalu atau depan.   
Air dapat berwarna, atau bening Air menyatu dengan yang lainnya, menjadi wadah, 
dan membiarkan dirinya diisi oleh hal dari luar.  
Air menjaga kestabilan emosi diri, perkembangan diri. 
Air dapat sejenak panas dan menguap, kemudian mengembun menjadi air lagi. 
Air dapat sejenak dingin dan membeku, kemuidan mencair kembali lagi 
Interaksi dengan orang lain Air bertemu api, memadamkan api dan kobarannya 
Air bertemu angin, menyejukkan angin yang kering 
Air bertemu tanah, menyuburkan tanah 
Air bertemu mahluk hidup, menghidupkan  
Air menyeimbangkan hidup, tidak menekan berlebihan di sebuah sisi, atau meringankan di sisi yang lain. 
Air merata di semua permukaan, demikian hukum Pascal Tekanan beban terhadap air, 
akan terbagi rata ke seluruh bagiannya, tidak ada yg berat sebelah. demikian dengan hidup, 
jika kita terlalu menekan pada sisi tertentu dlm hidup, 
berarti kita kan kehilangan sisi yg lain sama kuatnya dengan apa yg kita dapatkan.  
Sikap air terhadap benda asing dianalogikan thd teman -mengapungkan, 
berarti,  jika sesuatu bersifat tidak penting, ringan. 
Jika air bergejolak, maka benda ini akan terlempar dari air.  
Tipe benda sbg manusia: org yg Tidak sepermainan & tdk membangun  -mengambang dalam air  
Jika sesuatu bersifat sama berat dengan BJ Air, dan benda ini ikut mengalir dalam arus air, 
tanpa terlempar ke luar.  
Tipe benda sbg manusia: org sepermainan, tapi tdk membangun.   -tenggelam di dalam air   
Jika sesuatu bersifat lebih berat dari BJ air, 
dan benda ini akan menahan putaran arus air, 
dan menenangkan air tersebut dari goncangan.   
Tipe benda sbg manusia: Belum tentu tdk sepermainan, 
sangat membangun, menyadarkan alam pikir, dan memberi tantangan perkembangan diri.   
Ciptakanlah diri seperti air, ada dan tidak ada, berisi dan kosong. 
Dingin dan panas bersatu dalam satu substansi.

huaaaaa....filosofi yang keren banget,,kalo aku pengennya hidupku mengalir alami seperti air...
eittss...
tapi bukannya harus selalu pasrah sama aliran air, 
karena hidup butuh terkadang butuh perjuangan untuk bisa mencapai apa yang kita inginkan. Fight!!!

Sunday, January 24, 2010

Antara IQ dan EQ

hmmm....jadi teringat nih sama mata kuliah ISBD...
sebuah topik yang menarik dalam pengembangan diri, yakni antara IQ dengan EQ. Gimana sih jika ada orang dengan IQ tinggi tapi EQ rendah? Atau sebaliknya, EQ yang tinggi namun dengan IQ rendah?
1. IQ (Intelligent Quotient)
Memuat tentang kemampuan memori otak dan penghafalan. IQ mencakup tentang semua yang berisi tentang talenta, pemikiran, rumus-rumus, logika, dan lain-lain yang bersifat memorial. IQ merupakan potensi genetik yang terbentuk saat lahir dan menjadi mantap pada usia tertentu saat pra-pubertas, sesudah itu tidak dapat lagi dikembangkan dan ditingkatkan. Jadi, untuk bisa meningkatkan IQ haruslah segera dilakukan sebelum masa pra-pubertas sebelum terlambat. Cara meningkatkannya adalah dengan:
  • banyak membaca dan menghafal
  • banyak berlatih menghitung
  • kursus
  • mengembangkan diri
2. EQ (Emotional Quotient)
Merupakan kecerdasan emosi yang meliputi inisiatif, ketangguhan, optimisme, dan adaptasi. Seseorang yang memiliki EQ tinggi akan sukses karena tidak mudah marah dan mempunyai kemampuan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain. EQ bisa terus ditingkatkan, caranya adalah dengan kesadaran diri sendiri dengan membiasakan membaca, mendengar, melihat, mengendalikan emosi dan kemarahan lalu diterapkan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Sehingga nantinya akan menjadi kebiasaan yang akan melekat pada diri.

Menjawab pertanyaan diatas,
Apa yang akan terjadi jika seseorang memiliki IQ yang sangat tinggi namun EQ-nya jongkok?
  • orang tersebut pintar namun tak berani menonjolkan dirinya karena malu.
  • pasif dan tidak berkembang karena kurangnya interaksi dengan orang lain.
Lalu, bagaimana jika EQ yang tinggi namun IQ rendah?
  • orang tersebut pastilah sangat pede dan ngomon nggak karuan kemana-mana.
  • berani menonjolkan dirinya di depan umum namun bingung sendiri apa yang akan ia tonjolkan di muka umum.
  • Sok berlagak padahal tak punya skill yang mumpuni.
Jadi, kesimpulannya adalah jika ingin sukses, antara IQ dengan EQ haruslah seimbang, saling mendukung satu sama lain.

KARMA!!

Selalu pria ini yang duduk di nomor meja 17. Dia memang pelanggan Caffeine Café yang setia. Hampir tiap hari ia mengunjungi Café ini. Memesan secangkir coffee latte dan cheese cake yang sama. Duduk di sisi yang sama. Hanya satu yang membuatnya berbeda saat mengunjungi Café ini. Dia membawa wanita yang berbeda tiap kali berada di Café ini. Dalam seminggu ia bisa mengajak lima wanita berbeda. Dan hebatnya lagi ia tak pernah kena ada masalah dengan itu. Padahal wanita yang diajaknya ke sini adalah pacarnya. Bagaimana aku bisa tahu? Karena si wanita memanggilnya beib, kadang yank, atau apalah panggilan sayang lainnya. Beda wanita yang di ajaknya, beda pula panggilannya. Hanya seorang wanita bersamanya yang memanggil nama aslinya. Nama pria itu adalah Revan.

Suatu sore Revan mengajak seorang wanita lagi. Hmmm, wanita yang ini belum pernah aku lihat sebelumnya. Dia mengajak wanita itu duduk di tempat favoritnya. Ia pun memesan kopi dan makanan kesukaannya. Revan mulai menggombal. Aku benar-benar muak dengan makhluk yang satu ini.

“Rish, aku seneng banget kenal kamu. Kamu beda dengan cewek-cewek aku sebelumnya. Memang dulunya aku playboy tapi aku udah capek dan bosan jadi playboy.

Cewek yang dipanggil Rish tersenyum. “Masa?” tanyanya ragu.

“Terserah kamu kalo nggak percaya. Aku serius.” Tukas Revan dengan memasang muka marah.

“Iya-iya, aku percaya kok. Jangan ngambek dong?” Pinta si Rish.

“Huffft, tuh kan bener.”

“Emm, Rish aku pengen ngomong ini tapi susah banget.”

“Hmm? Ngomong apa?” tanya si Rish dengan nada menggoda. Seolah ia tahu apa yang akan dikatakan oleh Revan.

“Yang itu lho Rish. Yang di sms aku waktu kamu udah mau tidur.” Tukas Revan sambil menggaruk-garuk kepala.

“Apa? Met bobok?”

“Bukaaan! Yang habis itu. Haduuuh. Susah banget ngomongnya. Huh, baru sekali ini beneran suka sama cewek malah susah ngomongnya.” Keluh Revan masih dengan garuk-garuk kepala bingung.

“Apaan sih? Miss u?”

“Nah, yang habis itu. Idih, kamu ngerjain aku ya Rish. Udah tahu aku susah ngomongnya kamu malah mojokin aku.”

“Haha. Iya, aku tahu kok ‘Love U’ kan? Habis kamu lucu sih salah tingkah gitu.” Ucap si Rish sambil terkikik geli melihat tingkah Revan.

“Iya, bener itu. Hehe. Ya maklum Aerish. Dulu aku gampang banget bilang cinta karena aku nggak bener-bener cinta. Kalo ngomong yang beneran dari hati itu susah banget. Kamu sih nggak ngerasain.”

Ya, itulah cara Revan mendapatkan hati wanita. Sebuah cara yang bisa membuat wanita yang diinginkannya mempercayai semua yang ia katakana.

***

Ada seorang wanita yang aku kagumi diantara pacar-pacar Revan. Dialah yang memanggil Revan dengan namanya. Tak ada panggilan sayang. Revan memanggilnya Cherry. Cherry bener-bener cewek tangguh dan satu-satunya yang tak takluk pada Revan.

“Van, ambilin dompet sama hapeku di mobil dong!” Perintah Cherry pada suatu sore di Caffeine Café.

Revan menurut, ia keluar dari Café sebentar untuk mengambil apa yang diminta oleh Cherry. Sesaat kemudian Revan kembali duduk di kursinya. Pesanannya sudah datang. Saat Revan bersama Cherry raut mukanya berubah. Dia nggak berani ngegombal di depan Cherry. Pernah dulu Revan menggombali Cherry, sebelum Revan berpura-pura marah Cherry lebih dulu pergi meninggalkannya. Semenjak itu Revan tak pernah lagi coba-coba menggombali Cherry.

Menurut pandanganku Revan benar-benar cinta mati pada Cherry. Sedangkan Cherry tampak cuek terhadap Revan. Tiap kali mereka bertemu di sini tampak Revan yang lebih banyak bicara, sedangkan Cherry lebih sering tak menggubrisnya dan lebih asik dengan ponselnya sendiri sambil kadang tersenyum sendiri. Tiap Revan tanya apa yang membuatnya geli, Cherry cuma menjawab “ada deh urusan cewek.”

Aku suka sekali bagian ini. Revan tampak teraniaya jika mengajak Cherry ke sini. Tak ada yang bisa perbuat. Mungkin jika cewek lain yang memperlakukannya seperti itu, pasti akan langsung diputus oleh Revan. Namun karena dia cinta mati, Revan benar-benar hati-hati dalam menjaga hubungan mereka atau hubungan mereka akan berakhir.

Yang membuatku bertanya-tanya adalah, “Apa sih yang ada di pikiran lelaki bernama Revan ini? Kalo dia sudah cinta mati dengan seorang wanita kenapa masih juga selingkuh? Apa motifnya? Apa karena dia merasa tertindas sehingga ia melampiaskan uneg-unegnya pada wanita lain?”

Revan lebih pantas dikasihani daripada di benci. Di saat banyak wanita memujanya dan tak ingin kehilangan dirinya dia justru terperangkap dalam dilemanya sendiri, dia diinjak-injak oleh wanita yang disukainya, disayanginya, bahkan sangat ia cintai. Menyedihkan.

Apakah di dunia manusia itu kadar cinta sepasang kekasih tak pernah sama? Seimbang? Selalu yang kuamati selama ini pasti ada yang lebih mencintai dan ada yang kurang? Apa kadar cinta yang seimbang cuma ada di film atau sinetron yang ada di tv?

***

Siang ini Revan tak seperti biasanya. Kali ini dia mengajak seorang pria lagi bersamanya. Hmmm… apa jangan-jangan dia sudah bosan dengan wanita lalu beralih menyukai sesama jenis? Manusia memang sungguh aneh. Aku tak mengerti apa yang ada di pikiran mereka.

Seperti biasa Revan memesan makanan favoritnya di sini. Demikian juga dengan pria yang di bawa Revan ke sini.

“Sat, aku bingung nih harus gimana lagi ngadepin Cherry,” mulai Revan dengan menjambak-jambak rambutnya. Matanya merah dan berair karena berusaha keras untuk menahan air matanya keluar. Dia tampak putus asa.

“Aku heran sama kamu Van, orang kayak kamu kenapa bisa sampai seperti ini hanya karena wanita. Yang suka sama kamu banyak, yang mengelu-elukan untuk bisa pacaran sama kamu banyak. Kenapa nggak kamu putusin aja Cherry?”

“Oh, dugaanku salah, ternyata Sat ini teman si Revan. Baru kali ini Revan menunjukkan dirinya yang asli. Pasti dia sahabat dekat Revan. Hmmm…”

“Nggak bisa! Kamu kan tahu sendiri aku cinta mati sama Cherry. Aku nggak pengen kehilangan dia Sat.”

“Memang, kali ini ada masalah apa lagi sih Van?”

“Huh, beberapa hari ini dia nggak bisa dihubungi. Aku nggak tahu apa yang ia lakukan di belakangku. Aku harus bagaimana? Didiamkan seperti ini benar-benar membuatku hampir gila. Lebih baik jika dia marah atau apapun itu, yang penting jangan mendiamkan aku seperti ini.” Keluh Revan sambil mengacak dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. Penampilannya menjadi acak-acakan dan tampak kusut. Padahal dia termasuk orang yang sangat menjaga penampilan. Karena tiap ada kaca dia selalu merapikan rambutnya. Metroseksual.

Teman Revan menggelengkan kepalanya. “Impas kan? Cherry juga nggak tahu apa yang kamu lakukan di belakangnya.”

“Bukannya nggak tahu Sat, aku rasa dia tahu tapi dia tak peduli.”

“Jadi kamu selingkuh di belakangnya hanya untuk melihat responnya?”

Revan mengangguk sedih. “Dia nggak peduli dengan apa yang aku lakukan. Seperti apa yang aku lakukan pada mantan-mantanku sebelumnya. Kamu tahu kan?”

Sat mengangguk. “Mungkin ini karmamu Van. Aku dan yang lain sudah dari dulu mengingatkanmu untuk tidak mempermainkan perasaan wanita.”

“Penyesalan memang selalu datang terlambat. Karma ini justru terjadi padaku saat aku benar-benar menyukai seorang wanita. Apa yang harus aku lakuin Sat? Apa aku harus memutus pacar-pacarku yang lain?”

May be, boy.”

“Apapun bakal gue lakuin buat mempertahankan Cherry.”

***

“Rish, ada yang mau aku omongin sama kamu.”

Aerish berhenti meminum cappuccinonya untuk mendengarkan. “Apa Van?”

“Kita udahan aja ya? Aku nggak pantes buat kamu. Kamu terlalu baik buat aku Rish. Emm, asal kamu tahu aja. Aku udah selingkuh di belakang kamu. Selama ini aku selalu merasa berdosa sama kamu. Aku terus-terusan merasa bersalah sama kamu.” Tukas Revan takut-takut.

It’s okay,” jawab Aerish tanpa terduga.

“Kamu baik-baik aja kan Rish?”

“Udah aku bilang aku baik-baik aja Revan. Kenapa emang? Pasti kamu bingung kenapa aku nggak marah sama kamu, bener kan?”

Revan mengangguk heran. “Iya, kok kamu nggak marah?”

“Huh, aku udah tahu semuanya kok Van. Selama ini aku nungguin kamu untuk jujur cerita semuanya.”

Revan kaget mendengar pernyataan Aerish. “Darimana kamu tahu?”

“Ceritanya panjang. Intinya aku kenal sama pacar kamu yang bernama Cherry.”

Revan terbengong-bengong. “Cherry?”

“Yep, Cherry. Dia ada di sini kok. Dia sengaja nungguin aku di mobil. Ah, itu dia Cherry,” tunjuk Aerish pada Cherry.”

Revan salah tingkah. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Semuanya di luar rencananya.

“Van, kita juga udahan aja ya?” pinta Cherry begitu datang. “Yuk Rish kita pergi dari sini!” ajak Cherry kepada Aerish.

Sekarang tinggalah sendiri Revan. Ia menangis. Kali ini bukan air mata buaya melainkan air mata sesungguhnya karena dia kehilangan Cherry. Wanita yang sangat dicintainya. Hmm…apa perbuatan Revan di masa lalu benar-benar sudah keterlaluan? Sehingga orang-orang yang telah ia sakiti mengutuknya. Hingga saat ia mau bertobat pun dia telah terlambat dan kehilangan kesempatan. Maaf Van, aku tak bisa menghibur atau menasehati kamu. Segala sesuatu pasti ada karmanya. Aku hanyalah sebuah asbak yang diletakkkan di meja 17 Caffeine Café. Hanya sebuah benda yang jadi saksi bisu dari perjalanan cintamu.

***


Hmmmm...btw pada percaya nggak sih sama 'karma' itu???


a reply from love

“Kita udahan aja ya, Ma. Aku yakin kamu pasti bakal ketemu sama cowok yang jauh lebih baik dari aku. Kamu cantik, pintar, baik pasti banyak yang ngantre buat bisa jadian sama kamu.” Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Ramon masih terngiang-ngiang di telinga Emma. Emma tidak mengeluarkan air mata setitik pun meskipun rasa kecewa pada Ramon sangatlah besar. Ini memang sudah biasa untuk Emma, diputus oleh pacarnya. Sudah kesekian kalinya ia diputuskan oleh cowoknya, meski terkadang ia yang minta putus tapi lebih sering ia yang diputuskan oleh pacarnya. Mungkin sebagian dari mereka menyesal setelah mengenal Emma lebih jauh, pikir Emma.

Emma bingung harus menyalahkan siapa. Apakah dia harus menyalahkan dirinya yang mungkin membosankan bagi cowok ataukah dia harus menyalahkan cowok di luar sana yang tak mau menerima dirinya apa adanya. Semua ucapan dan janji manis saat mereka mendekatinya tak terbukti saat Emma mulai membuka hatinya untuk mereka. Padahal ini baru sekelas pacaran, gimana jadinya kalo dia sudah married? Pasti kawin-cerai mulu nantinya. Hufffftt…

Meskipun Emma sering kecewa dengan pilihannya, itu tak membuatnya menyerah akan cinta. Dia terus berusaha untuk menemukan Mr. Right yang akan menemaninya hingga maut memisahkan. Ya, pikiran Emma memang telah jauh ke depan. Ia tak pernah main-main dengan semua pilihannya. Ia pacaran bukan hanya untuk bersenang-senang melainkan untuk merajut hubungan yang lebih serius.

“Apa semua cowok akan lari jika diajak untuk serius?” Pikir Emma sambil terus melangkahkan kakinya tanpa arah. Emma merasa perasaannya lega jika ia berpikir sambil terus berjalan tanpa arah. Berjalan dan terus berjalan sampai ia menemukan jawaban dari semua pertanyaannya. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya pada sebuah parit. Ia mendekati parit itu. Di sana ia melihat sehelai daun yang hanyut oleh aliran air parit itu. Daun itu terombang-ambing ke kiri dan ke kanan mengikuti aliran air dengan tenang. Emma tersenyum. Kini telah ia temukan jawaban dari pertanyannya sedari tadi.

^^_^^

Emma berjalan menuju perpustakaan dengan tergesa-gesa. Dia harus segera mencari bahan untuk tugas essay Bahasa Indonesia karena deadline untuk pengumpulan tugas adalah lusa nanti. Saat sedang berjalan ia berpapasan dan bertemu mata dengan seorang cowok yang sepertinya anak sosial, ia tak tahu namanya. Emma memang selalu cuek dengan temannya yang tak dikenalnya. Padahal mereka satu tingkatan dan satu sekolah tapi tetap saja ia tak peduli dengan orang yang tak dikenalnya. Emma lalu mengalihkan matanya kembali ke depan dan berlalu cepat ke perpus. Ia tak sadar cowok itu berhenti dan menatapnya dari belakang.

^^_^^

Emma menatap jam tangannya dengan sebal. Sudah setengah jam ia berdiri di situ menunggu Nola, sahabatnya. Mereka berdua memang selalu pulang sekolah bareng. Tapi hari ini Nola ada janji dengan Beni anak cowok kelas sebelah yang kayaknya naksir Nola. Kesabaran Emma sudah hampir habis saat tiba-tiba ia mendengar alunan nada piano dari ruang musik. Bulu kuduk Emma langsung berdiri. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri namun tak ada seorang pun yang lewat karena jam pulang sekolah udah setengah jam berlalu. Ia sering mendengar desas desus jika ruang musik sekolahnya berhantu. Menurut desas desus, sering ada bunyi piano dari dalam ruangan yang terkunci itu. Emma bergidik ngeri. Ia tak bisa bergerak saking takutnya. Ia duduk terpaku sambil memejamkan mata dan berharap Nola segera datang. Mulutnya komat-kamit membaca doa untuk mengusir setan. Jantungnya berdegup kencang.

Alunan piano itu semakin menjadi dengan irama yang cepat dan kencang seperti di film-film horror yang pernah ia tonton. Setan yang memainkan piano itu seolah sedang marah. Emma menutup telinganya rapat-rapat supaya suara itu tak terdengar. Dan ia berhasil alunan piano itu tak terdengar lagi. Namun, yang kini ia dengar adalah suara langkah kaki berat yang mendekatinya. Emma tak berani membuka matanya, ia hafal benar dengan langkah kaki Nola yang ringan dan setengah berlari ceria. Ini bukan langkah kaki Nola. Langkah kaki itu berhenti di depannya. Emma menundukkan kepalanya sambil terus mengucap doa-doa. Ia bisa rasakan nafas berat setan itu. Emma ingin berteriak namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia ingin menangis saking ketakutannya.

“Hai!” sapa setan itu. Tunggu, sepertinya ada yang salah. Setan itu menyapanya “hai”. Setolol-tololnya Emma ia tahu setan tak mungkin seramah itu mengatakan “hai” padanya. Ia mulai membuka matanya pelan-pelan dan melihat sebuah sosok laki-laki di depannya. Laki-laki yang memakai seragam putih abu-abu seperti dirinya. Emma lega bukan main karena yang di hadapannya adalah teman sekolahnya. Saking leganya tanpa sadar ia memeluk laki-laki di depannya itu karena merasa bersyukur telah terselamatkan dari teror alunan piano.

“Untung kamu lewat sini,’’ ucap Emma lega sambil menangis sehingga membasahi seragam teman sekolahnya. Ia melepaskan pelukannya dan menatap siapa pahlawannya itu. “Lho, kamu!” Seru Emma kaget sambil mengusap air matanya. Kini mukanya bersemu merah karena telah memeluk cowok itu dengan noraknya sambil nangis-nangis. ­Image­nya yang selama ini ia jaga langsung luntur.

“Hai, kamu baik-baik saja kan?” tanya cowok itu kemudian. Bukannya menjawab pertanyaan, Emma malah kabur dan berlari kencang karena ia benar-benar malu karena perbuatannya yang norak. Ia terus berlari keluar sekolah sambil terisak saking malunya. Ia tak punya muka jika nanti ia bertemu dengan cowok itu. Cowok yang sering ia pergoki mencuri pandang padanya. Cowok yang bertemu mata dengannya saat akan ke perpus. Dan cowok yang ‘Entah Siapa Namanya.’

^^_^^

Emma berangkat ke sekolah dengan malas. Ia masih malu bila mengingat kejadian kemarin. Ia takut di sekolah nanti ia menjadi bahan pembicaraan anak-anak. Ia takut cowok itu mengatakan kejadian memalukan kemaren pada teman-temannya. Emma berimajinasi sendiri membayangkan cowok itu mengatakan seperti ini, “Eh, tahu nggak kemaren ada anak ilmu alam meluk-meluk gue sambil nangis-nangis nggak jelas. Gila ya dia? Gue shock banget tahu-tahu gue di peluk kayak gitu.” Emma lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri membayangkan ia akan menjadi bahan omongan seisi sekolah. Ia juga membayangkan ia akan di cap sebagai cewek aneh musim ini. “Nggaaaaaaaaaaaaaaak!!” teriaknya tiba-tiba sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya menatapnya. Emma salah tingkah, lagi-lagi ia mempermalukan dirinya sendiri. Ia bergegas berjalan cepat sambil merapikan rambut dan seragamnya seolah menjawab pertanyaan orang-orang yang memandangnya dan mendjudge “Orang Aneh” bahwa dia baik-baik saja dan tentu saja “NORMAL.”

Emma terus melangkahkan kakinya hingga tak terasa ia telah sampai di gerbang sekolahnya. Dia masih belum menemukan jawaban dari kekalutannya. Dengan lunglai ia segera masuk ke dalam lingkungan sekolahnya. Emma menepuk jidatnya. “Oh My God!” Untuk sampai ke kelasnya di kelas IA 3, ia terlebih dahulu harus melewati jurusan ilmu sosial. Tak ada jalan lain karena kelasnya berada di pojokan.

Emma menarik nafas dalam-dalam lalu menghempaskannya. Ia memantapkan langkahnya dengan cepat saat melewati jurusan Ilmu Sosial. Ia melirik dari sudut matanya, memperhatikan jika ada yang berbisik-bisik sambil menatapnya. Ia mencari-cari dengan sudut matanya namun semuanya berjalan seperti biasa. Emma mulai memperlambat langkahnya. Ia tak menemukan keganjilan yang menggunjing dirinya. Anak-anak social itu sibuk dengan urusan masing-masing. Ketawa-ketiwi namun tak menunjukkan bahwa mereka ketawa karena dirinya.

Emma terus berjalan menuju ke kelasnya. Di sana juga semua terkendali. Berjalan seperti biasanya. Tak ada yang aneh.

Tak lama kemudian matanya tertuju pada sesosok cewek yang dikuncir kuda sedang cengar-cengir menatap layar ponselnya dengan innocent. Emma bergegas menghampirinya. “Nol, kemaren kamu kemana aja sih? Aku nungguin kamu setengah jam-an tahu!” Semprot Emma langsung pada sahabatnya satu itu.

Bukannya menciut karena dimarahin Emma, Nola justru sumringah melihat kedatangan Emma. “Whuaaa…akhirnya kamu datang juga Ma. Uda aku tungguin dari tadi kamu. Kamu ketinggalan hot news hari ini.”

Nyali Emma yang kini malah ciut. Emma menggigit bibirnya tanda ia gugup dengan berita yang akan disampaikan Nola. Emma mulai berprasangka buruk. “Berita apaan? Jangan-jangan bener kejadian kemaren jadi hot news hari ini,” pikirnya tak tenang.

“Hmmm….tebak apa coba?”

Emma yang sedang gugup jadi jengkel. “Ya mana aku tahu berita apaan. Cepet bilang apa?” desak Emma sambil menggigiti bibirnya yang merah.

“Aku jadian sama Beni! Kyaaa!” tukas Nola yang histeris dengan sendirinya.

Emma bengong. Ia mengernyitkan dahinya. “Ada berita tentang aku gak Nol?”

“Hmm? Emang kamu ngapain Ma?”

Emma menarik nafas lega. “Hmm… Nggak apa-apa kok.” Jawabnya lega.

“Eh, tadi kayaknya pas kamu dateng kamu bilang sesuatu sama aku deh Ma. Apaan?”

“Nggak jadi. Lupa tadi mau ngomong apa!” Sahut Emma cemberut.

Nola yang lagi berbunga-bunga mengiyakan saja tanpa memperhatikan ekspresi wajah Emma. “Ih, kamu jahat banget sih Ma. Masa sahabat kamu jadian gak ngasih ucapan?”

“Heh? Ucapan apa? Terima kasih?” tanya Emma yang lagi nggak ngeh denger Nola dari tadi.

“Gimana sih Ma? Kok malah ucapan terima kasih? Harusnya kamu kasih selamat sama aku. Huh,” tukas Nola bersungut-sungut karena Emma ternyata mengacuhkannya sedari tadi. Tapi ia tak peduli. Ia tak ingin merusak hari yang indah dengan status barunya sebagai Nona Beni.

^^_^^

Emma berjalan bersama Nola ke kantin. Mau tak mau mereka harus melewati jurusan ilmu sosial. Emma memastikan bahwa semuanya aman sehingga ia baru lewat. Ia tak melihat tanda-tanda kehadiran cowok itu. Ia lalu berjalan dengan tenang berdua dengan Nola. Nola diam saja, ia sibuk smsan dengan Beni meskipun mereka hanya berbeda kelas. Saat melewati kelas IA 2 Nola tersenyum manja pada Beni yang sedang duduk-duduk di kelas sibuk mengerjakan PR. Emma jijik melihat kelakuan temannya satu ini. Perasaan dia kalo pacaran nggak selebay Nola. Emma menarik-narik Nola yang tak bisa melepaskan pandangan dari pacar barunya. Perutnya sudah keroncongan tak bisa di ajak kompromi. Emma sibuk menarik-narik Nola tanpa memperhatikan depannya. Bukkk. Ia menabrak seseorang di depannya. “Aduh, sorry, sorry aku nggak liat depan tadi,” pinta Emma pada orang yang ditabraknya.

“Iya nggak apa-apa kok,” balas orang itu. Emma yang membersihkan seragam cowok yang ditabraknya karena refleks kaget mendengar suara yang familiar itu. Suara yang mungkin nggak bakal ia lupakan seumur hidupnya. Emma mendongak menatap siapa yang ditabraknya. Ia shock dan langsung balik ke kelasnya tanpa peduli lagi dengan perutnya. Gengsinya mengalahkan rasa laparnya. Jantungnya berdegup kencang karena berlari. Emma lalu mulai mengatur nafasnya.

“Ma, kamu kenapa sih?” tanya Nola yang ternyata menyusulnya. “Hari ini kamu tuh bener-bener aneh. Kesurupan setan WC ya Ma?”

Emma mengatur nafasnya lalu berbicara. “Nol, kamu tahu nggak cowok yang aku tabrak tadi itu siapa?”

Nola seakan tak percaya dengan pertanyaan sahabatnya. “Hello? Ma, emang kemana aja sih kamu selama ini? Kamu nggak tahu Arjuna Hermawan?”

Emma menggeleng pelan dan memasang muka kucing minta dikasihani. “Emang siapa dia?”

“Aduh, Emmaaaaaa!” teriak Nola yang membuat seisi kelas menoleh ke arah mereka berdua. “Kamu itu dua tahun sekolah di sini masih aja belum apal temen-temen satu sekolah?”

Emma lagi-lagi menggeleng. “Yang aku kenal cuma yang pernah sekelas aja sama aku.”

Nola menghela nafas panjang. Menghadapi kecuekan Emma memang butuh kesabaran. “Ma, sikap cuek kamu itu harus diilangin. Nggak bagus tahu. Nggak lucu kan kalo nama guru yang nggak ngajar kamu terus kamu nggak kenal.” Nola mengatur nafas. “Arjuna itu anak kelas ilmu sosial.”

“Iya, kalo itu aku juga tahu Nol.”

“Diem dulu!” perintah Nola galak. Emma ciut dan langsung diam. “Dia itu seorang pianis yang bikin bangga sekolah kita. Dia jenius musik. Memang sih dia sering nggak masuk sekolah karena harus berkompetisi di luar kota bahkan tak jarang di luar negeri.” Tiba-tiba Nola tersipu malu dengan sendirinya. “Dan juga, dia itu cakeeeep. Idola cewek-cewek sekolah kita di samping anak-anak basket.”

“Nol, inget tuh si Beni. Baru jadian juga kemaren,” sela Emma.

“Beda dong Emma. Kalo Beni aku cinta sama dia tapi kalo Arjuna, aku ngefans sama dia.” Tukas Nola mengerjapkan mata genit. “Selera kamu Ma tuh rendah banget sih, masa kamu nggak liat kegantengan Arjuna? Pantes mantan-mantan kamu standar semua. Huh.”

“Eh? Emang si Beni ganteng apa? Masih mending juga mantanku yang terakhir. Dekil gitu juga,” balas Emma sengit.

Kata-kata itu menohok Nola. Ia tak bisa membalas perkataan Emma karena emang kenyataannya begitu. “Nggak apa-apa, yang penting aku cinta. Hehe.”

Emma geleng-geleng kepala. “Nah, kalah tuh baru ngomong gitu.”

“Udah lupain. Ngomong-ngomong kenapa kamu tadi kabur habis nabrak Arjuna? Jangan-jangan kamu juga udah mulai terpikat sama kegantengannya ya Ma?”

“Enggaklah!” sahut Emma cepat. “Nggak ada apa-apa kok. Kaget aja tadi nabrak orang.” Tukas Emma asal-asalan, ia terlalu malu untuk bercerita pada sahabatnya. Bisa-bisa Nola mengejeknya habis-habisan nanti.

^^_^^

Hari ini Emma pulang sendirian. Nola pulang bareng Beni. Tak masalah bagi Emma pulang sendirian. Ia paham Nola terkadang pasti pengen pulang bareng pacarnya. Ia berjalan sendirian dengan berpikir seperti biasanya. Ia menikmati tiap langkah saat menginjakkan kakinya. Tiba-tiba ada seseorang yang menjajari langkahnya. Namun Emma tak peduli ia tetap saja asik dengan pikirannya sendiri.

“Hai!” sapa orang yang menjajarinya.

Emma yang hafal benar suara ini hendak kabur, namun sayang ia terlambat. Tangannya telah dipegang oleh Arjuna. Ia berusaha memberontak namun percuma saja genggaman Arjuna kuat.

“Sakit,” erang Emma yang sudah capek berusaha melepaskan diri.

“Ups, sorry. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu Ma. Aku cuma pengen nanya sama kamu aja kok.” Tukas Arjuna melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tangan Emma.

“Ma? Darimana kamu tahu namaku?”

“Masa temen satu sekolah nggak tahu namanya. Nama kamu Emma kan? Emma Sagita.”

Emma tertohok sekaligus kaget. Dia nggak nyangka Arjuna sampai hafal nama lengkapnya. Ia mengangguk. Emma tak berani menatap Arjuna, ia benar-benar tak punya muka untuk berhadapan dengan Arjuna.

“Kamu kenapa sih kalo ketemu aku selalu lari, emang mukaku kayak setan ya?”

“Uhm…Ehm, sebenarnya aku malu ketemu sama kamu. Gara-gara waktu itu aku refleks meluk kamu di depan ruang musik,” tukas Emma terbata-bata.

Arjuna tersenyum. “Ya ampun, jadi cuma gara-gara itu kamu kabur kalo ngeliat aku?”

Emma mengangguk. “Sorry, waktu itu aku takut banget denger bunyi piano di ruang musik. Kamu denger juga nggak? Serem banget, mana hantunya kayaknya lagi marah karena main pianonya kasar.”

Arjuna kembali tersenyum. Emma mulai mengira Arjuna sinting karena dari tadi senyam-senyum mulu. Atau jangan-jangan justru Arjuna yang menganggapnya sinting karena ada hantu di siang bolong. “Suara piano yang kamu denger itu bukan hantu yang main tapi aku.” Ucap Arjuna menahan geli melihat ekspresi wajah ngeri Emma.

Emma melongo. “Kok bisa? Kan ruangannya di kunci?”

“Aku diberi guru musik kita keistimewaan untuk membawa kuncinya supaya bisa bermain piano sesukaku.”

Emma teringat perkataan Nola bahwa Arjuna adalah seorang pianis handal jadi dia tak bertanya lebih jauh lagi. “Oh…” Emma menghela nafas. “Kamu waktu itu sedang marah ya?” tanya Emma sambil kembali berjalan diikuti oleh Arjuna.

Arjuna menghela nafas. “Aku waktu itu sedang ada masalah Ma.” Tukas Arjuna sambil memandang jalan dengan tatapan kosong.

“Eh? Sorry, aku nggak ada maksud buat ngungkit. Kita ganti topik aja deh. Hmm, hari ini cuacanya mendung ya?”

Arjuna tersenyum geli. “Kamu itu lucu deh Ma. Nggak apa-apa kok. Aku kemaren itu berantem sama papaku. Papaku pengen aku fokus di sekolah dan bisa jadi penerus perusahaannya. Tapi saat lulus nanti aku ingin melanjutkan ke sekolah musik, aku pengen jadi pianis yang bisa menciptakan musik yang bisa membangkitkan emosi orang yang mendengarnya.”

Emma memperhatikan Arjuna. “Papa kamu ngelarang kamu main piano? Padahal kamu udah sehebat itu. Terus rencana kamu selanjutnya apa?”

“Entahlah, mungkin aku yang bakal mengalah. Papaku udah tua Ma. Aku nggak pengen dia kenapa-kenapa. Aku akan berlatih piano sendiri dan bereksplorasi sendiri. Apa salahnya menyenangkan orang tua meski terkadang itu menyakiti diri sendiri. Lagipula pengorbanan seorang anak tak sebanding dengan pengorbanan orang tua yang telah membesarkan kita dengan penuh kasih.”

Emma mengangguk. Diam-diam ia salut dengan kedewasaan dan rasa bertanggung jawab Arjuna sebagai seorang anak. “Kok kamu mau cerita ini semua sama aku? Padahal kita kan baru aja kenal? Apalagi ini masalah sensitive kamu.”

“Aku sendiri juga nggak tahu Ma. Aku langsung ngerasa nyaman aja cerita sama kamu. Padahal aku bukan tipe orang yang terbuka.” Arjuna tersenyum. “Oh ya, aku boleh minta nomor hape kamu nggak Ma?”

“Tentu aja.” Mereka bertukaran nomor hape lantas berpamitan karena jalan pulang yang diambil berbeda.

^^_^^

Hari berlalu dengan cepat. Oktober, November, Desember, tak terasa tiga bulan telah terlewati. Emma dan Arjuna semakin dekat dan mereka berdua memutuskan untuk berpacaran. Kali ini Emma mengubah gaya pacarannya dengan membiarkan semua mengalir, let it flow! Ia tak ingin berpikiran terlalu tinggi karena jika jatuh pasti akan sangat sakit. Dan lagi, baginya sosok Arjuna sangat istimewa untuk dirinya. Ia berbeda dengan pacar-pacarnya sebelumnya. Arjuna adalah sosok cowok yang dewasa dan bertanggung jawab. Cocok untuk Emma yang masih kekanak-kanakan. Saling melengkapi.

“Ma, ntar malem keluar yuk? Ada yang pengin aku omongin sama kamu.” Ajak Arjuna saat pulang sekolah.

Emma menatap pacarnya, Arjuna memasang muka serius. Jantungnya berdegup kencang. Meskipun telah sebulan berpacaran, Emma masih saja deg-degan saat menatap mata Arjuna yang tajam. Padahal sebelumnya tak pernah seperti itu. Kali ini Emma deg-degan bukan hanya karena menatap mata Arjuna namun ia juga takut dengan apa yang akan dikatakan Arjuna nanti malam. Mantan-mantannya dulu selalu mengatakan kata-kata itu saat mereka memutusnya. Emma takut diputus Arjuna. Takut banget. Dia takut kehilangan Arjuna karena Emma terlanjur cinta padanya. Ia takut Arjuna hilang darinya dengan membawa sebagian dari dirinya. Emma hanya mengangguk menanggapi ajakan Arjuna. Sepanjang perjalanan pulang ia lebih banyak diam. Emma bergulat sendiri dengan pikirannya.

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Emma pada dirinya sendiri sesampainya di rumah. “Tuhan, tolooong! Sekali ini saja kumohon pada-Mu, biarkan aku memiliki cintaku. Kumohon Tuhan, Emma nggak pengen kehilangan Arjuna. Selama ini Emma selalu kecewa dengan pilihan Emma sendiri. Kumohon untuk kali ini saja biarkan Emma bersama Arjuna. Emma sudah letih dikecewakan. Untuk kali ini saja,” doa Emma setelah salat dzuhur. Ia menitikkan air matanya deras karena ia tak ingin kecewa untuk kesekian kali dan dengan orang yang benar-benar ia cintai.

^^_^^

Waktu janjian Emma dengan Arjuna telah tiba. Emma hanya memakai pakaian seadanya. Tanpa dandan seperti biasanya. Rambutnya hanya ia cepol asal-asalan. “Hufft…akhirnya tiba juga waktunya,” keluh Emma seraya menghela nafas. Kali ini ia pasrah, ia sudah capek menangis. Bagaimanapun apa yang seharusnya terjadi akan terjadi cepat atau lambat. Bunyi klakson motor Arjuna memberi tanda bagi Emma untuk segera keluar.

Emma mengenakan helm dan membonceng Arjuna. Ia tak tahu akan dibawa kemana oleh pacarnya yang dalam beberapa menit nanti bakal jadi mantannya. Sepanjang perjalanan Emma terdiam. Demikian pula dengan Arjuna tak mengucapkan sepatah kata pun pada Emma. Arjuna tak tahu bahwa di belakangnya Emma sedang menangis tanpa suara. Tiba-tiba Emma memeluknya erat. Arjuna hanya tersenyum di balik helm full face-nya. Mungkin itu pelukan terakhirnya. Sebentar lagi Arjuna akan menghilang darinya.

Arjuna berhenti di sebuah tempat yang dikenalnya. Bahkan sangat dikenalnya karena ia hampir tiga tahun bersekolah di sana. “Kenapa Arjuna membawanya ke sekolah?” Pikir Emma heran. Emma lalu berpikir cepat, “Mungkin ia ingin mengakhiri hubungan mereka di sini. Di sekolah. Tempat mereka juga mengawali hubungan mereka.

Arjuna menarik tangan Emma untuk masuk. Namun, Emma menahannya. Ia tak bergeming dari tempatnya berpijak. “Mau kemana? Udah di sini aja ngomongnya Arjuna!” pinta Emma dengan susah payah menahan air matanya untuk tidak menetes. Ia ingin terlihat tegar di depan Arjuna.

Arjuna tak memedulikan permintaan Emma, ia justru menarik pergelangan tangan Emma lebih kuat sehingga Emma terjungkal ke depan. “Arjuna!” teriaknya. “Cukup! Kamu mau bikin aku tambah sakit hati dengan membawaku ke lapangan basket tempat kita jadian?”

Arjuna melepaskan pergelangan tangan Emma. “Maksud kamu Ma? Bikin kamu sakit hati?”

“Aku tahu kok kenapa kamu ngajak ke sini dan aku tahu apa yang bakal kamu omongin sama aku. Kamu mau minta putus kan? Aku tahu aku emang cewek yang ngebosenin. Aku udah terbiasa di putus cowok duluan. Dan…Hmmmf.” Emma terdiam karena tiba-tiba Arjuna mencium bibirnya. Air matanya kini tak lagi bisa terbendung. Air matanya jatuh mengalir deras ke pipinya.

“Siapa yang minta putus? Dasar sok tahu!” tukas Arjuna seraya menarik Emma ke arah lapangan basket. Emma kini sudah tak berdaya. Ia hanya terus-terusan mengusap air matanya yang tak berhenti keluar. Arjuna tetap diam dan berjalan sambil menggandeng tangan Emma.

Setibanya di lapangan basket Emma tersentak kaget. Arjuna melepaskan tangan Emma. Emma masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia mendekati lilin-lilin kecil yang diletakkan di tengah lapangan itu dan membaca huruf demi huruf yang dibentuk oleh lilin-lilin itu. Emma merangkai huruf-huruf itu hingga terbentuk lah dua buah nama dengan dibatasi oleh lilin-lilin yang membentuk hati.

ARJUNA


EMMA

Kali ini air mata Emma berubah menjadi air mata haru. Ini benar-benar manis. Belum sempat Emma mengatakan sepatah kata pun Arjuna mendahuluinya. “Emma, kamu mau nggak tunangan sama aku?” tanya Arjuna dengan berlutut di depan Emma seraya memegang kotak kecil dengan sebuah cincin di dalamnya. Emma yang sedari tadi belum percaya dengan apa yang dilihatnya makin tak percaya saja sehingga ia mencubit-cubit pipinya sendiri hingga merah. “Ma, yang kamu liat ini nyata. Bukan mimpi.” Tukas Arjuna meyakinkan Emma.

Emma pun menyadari bahwa ini kenyataan. Semuanya ini indah dan nyata. Ia tersenyum. “Ya, aku mau.” Jawab Emma yang masih belum lepas dari rasa harunya.

Arjuna pun berdiri lalu memakaikan cincin itu di jari manis Emma. Pas. “Kok bisa pas?” tanya Emma heran.

“Karena aku cinta kamu. Cinta itu ajaib.” Tukas Arjuna menggombal.

Emma tersenyum dan dalam hati ia bersyukur pada Tuhan yang tak hanya mengabulkan doanya namun juga memberinya lebih daripada yang ia minta. “Kenapa cepet banget?”

“Kamu nggak suka Ma?”

Emma segera menggeleng cepat. Mukanya berbinar-binar. Ia terlihat sangat cantik saat terkena cahaya lilin.

“Karena aku nggak pengin kehilangan kamu Emma. Kamu belahan jiwaku. Meski kita jauh tak perlu khawatir lagi.”

Emma mengernyitkan dahi. “Maksud kamu?”

“Setelah lulus SMA nanti aku bakal sekolah di Harvard Amerika Ma. Papaku pengin aku nerusin di sana. Dan di sana juga aku bisa mengembangkan bakatku bermain piano.”

Emma ternganga mendengar sebuah kabar yang baru saja keluar dari mulut kekasihnya. Ia segera memeluk Arjuna dan menangis.

“Cinta kita nggak bakal pupus jika hanya terpisahkan laut sayang.” Tukas Arjuna sambil mengusap kepala Emma dengan penuh kasih.

Emma melepaskan pelukannya. Ia tak bisa banyak bicara. Hari ini penuh dengan hal yang tak terduga. Arjuna mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Emma lalu mengecup kening Emma.

“Ya, cinta kita nggak bakal mati meski terpisah lautan.” Ulang Emma mantap dengan menatap mata tajam Arjuna yang berubah teduh malam itu.

^^_^^*

Little Star

Bintang malam berkelip ceria di keheningan malam yang pekat. Aku membalas senyum bintang-bintang itu padaku. Ku tatap lekat-lekat sebuah titik di langit hitam. Bintang. Ya, sebuah bintang kecil yang berkelip redup dan samar-samar. Ku pandangi terus bintang itu tanpa berkedip. Bintang kecil itu mirip denganku. Seorang gadis biasa yang tak menonjol seperti redupnya kerlip bintang kecil itu. Pikiranku melayang kembali ke masa-masa SMA. Masa-masa yang indah dan penuh keceriaan serta semangat menggelora para ABG. Terlintas di pikiranku saat diri ini mulai menginjak masa remaja dimana aku mulai mengenal kata cinta.

Saat itu aku adalah seorang gadis yang polos dan hanya mengenal bahwa cinta itu indah. Aku tak tahu bahwa cinta itu bisa membuatku hampir gila karena aku telah termakan oleh cinta itu.

“Mil, memang Dika itu cinta pertama kamu ya?”

Aku mengangguk mantap dan bangga, “Iya La, aku sayang banget sama Dika. Aku baru sekali ini ngerasain sesuatu yang beda di hati aku. Aku baru tahu kalau inilah yang dinamakan cinta.”

“Emm, emang kamu nggak jealous sama Rena? Mereka berdua itu kan deket banget. Kalau menurut aku nggak wajar kalo mereka berdua sedekat itu apalagi Dika seperhatian itu sama Rena.”

Pertanyaan itu menyentil bagian sensitif di lubuk hatiku. Kali ini ku ragu untuk menjawab. Mataku yang tadinya semangat berubah sayu. “Aku percaya Dika kok, kan mereka sahabatan La. Dika bahkan udah menganggap Rena kayak adiknya sendiri. Jadi aku percaya,” jawabku berusaha untuk mantap meski aku ragu.

“Oh gitu, bener juga sih Mil masa cemburu sama sahabat pacar kita sendiri. Eh, ngomong-ngomong kok akhir-akhir ini kamu jarang kelihatan sama Dika? Padahal kan ini masa-masa buat santai habis tes kenaikan.”

“Iya Mil, kenapa? Aku lihat kalian kalo ketemu kayak gak saling kenal gitu padahal kalian pacaran. Aneh banget deh kalian,” celetuk Meta yang sedari tadi hanya menjadi pendengar antara Mili dengan Lala.

Pertanyaan Meta yang sederhana itu seperti sengatan listrik untukku. Aku bingung harus menjawab apa, karena aku sendiri juga tak mengerti pada apa yang terjadi pada kami berdua akhir-akhir ini. “Masa sih? Kita biasa aja kok, tadi pagi juga kan kalian lihat kalo aku berangkat bareng Dika ke sekolah.”

“Iya sih, syukur deh kalo kalian gak apa-apa. Kalian itu pasangan yang serasi. Cuma aku lihatnya kalian agak canggung kalo ketemu. Kadang aku lihat kalian aja bahkan saling tak melihat kalo ketemu. Makanya aku pikir kalian sedang dalam masalah.”

Aku hanya tersenyum kecut. Aku tak tahu apa yang terjadi pada kami. Tepatnya apa yang terjadi pada Dika. Sikapnya padaku minggu ini berubah seratus delapan puluh derajat dari minggu lalu. Aku bingung. Dika seminggu ini selalu mendiamkan aku. Dia tidak sms aku kecuali aku duluan yang memulai. Sekalipun kami sms-an pasti selalu berhenti di tengah jalan. Dia tak lagi membalas. Membalas sms pun hanya sekadarnya. Aku yang pertama kali jatuh cinta tak tahu apa yang terjadi pada kami. Aku bingung. Apa salahku pada Dika hingga dia tega mendiamkan aku selama seminggu ini. Aku tak pernah melirik cowok lain, tiap aku cemburu pada seseorang pun aku hanya memendamnya. Kini aku rapuh.

@@#@@

Tadi malam Dika memutuskan hubungan kami. Bebanku menjadi sedikit terangkat. Karena aku lelah dalam kebingunganku sendiri. Dika memutuskanku dengan alasan yang menurutku sangat tidak rasional. Alasannya karena Dika tak ingin backstreet. Mengapa menurutku tak rasional? Karena sejak kami pacaran kami sudah berkomitmen mengenai itu. Orang tuaku belum mengijinkan aku pacaran. Aku rela berbohong pada orang tuaku karena aku sangat ingin memiliki Dika.

Aku berubah Sembilan puluh derajat setelah pacaran dengan Dika. Bukannya karena Dika yang merubahku tapi karena aku sendiri yang terjerat cinta buta. Aku benar-benar mencintainya. Aku berbohong pada orang tuaku. Aku sadar bahwa aku salah dan benar-benar merasa sangat berdosa karena telah membohongi kedua orang yang seharusnya aku sadari dari awal bahwa hanya mereka berdua yang paling mencintai aku di dunia ini. Mungkin ini karmaku. Aku menerimanya sekalipun menyakitkan mengetahui kenyataan bahwa aku harus kehilangan Dika.

Teman-temanku shock mendengar kabar hubungan kami. Terutama sahabatku. Berita mengenai hubungan kami dengan cepat menyebar dan banyak teman-temanku yang menyayangkan putusnya hubungan kami.

@@#@@

Mataku lembab dan kurasakan air mata mulai membasahi bola mataku. Kupandangi terus bintang kecil itu. Bintang itu seolah bertanya padaku apa yang sedang terjadi padaku. Aku mengedipkan mataku dan itu membuat air mataku jatuh cepat di pipiku.

Beberapa bulan yang lalu baru ku tahu apa alasan mantanku Dika memutuskan aku. Ya, aku baru tahu setelah aku masuk perguruan tinggi. Sebuah kenyataan yang benar-benar menyakitkan untuk seorang gadis yang polos dan rapuh sepertiku. Kenyataan yang muncul setelah setahun dan akhirnya hubungan kami mulai membaik.

“Dik, emang apa sih yang mau kamu ceritain ke aku? Aku penasaran nih. Dari kemaren-kemaren kamu janjiin aku mau cerita semua tapi selalu aja ada halangan. Apa sih yang mau kamu ceritain sama aku?” tanyaku tak sabar ketika dia sudah berada di depan kostku.

“Iya Mil, aku sudah janji bakal cerita ini semua sama kamu. Karena inilah yang membuatku selalu merasa bersalah tiap melihat kamu.”

“Iya, cerita apa? Aku sudah siap kok,” ujarku mantap karena aku telah mempersiapkan perasaan ini untuk kemungkinan terburuk sekalipun.

Kudengar tarikan nafas Dika dan dia pun mulai berbicara. “Maaf ya Mil sebelumnya. Aku memang benar-benar cowok brengsek. Aku rasa kamu tahu kalo aku sebenarnya menyukai Rena.”

Aku mengangguk. Aku sudah mempersiapkan perasaanku untuk hal ini. Aku tahu dia akan mengatakan ini saat dia mengatakan ingin bercerita padaku. Dika melanjutkan omongannnya. “Aku sudah menyukai Rena semenjak kelas X,” tukasnya singkat lalu berhenti. Aku mengangguk saja mendengarkan Dika bercerita. Semua masih di dalam kendaliku. Semua ini masih bisa aku prediksi.

“Aku menyayangi Rena dan ingin terus menjadi penjaganya. Bahkan kamu tahu sendiri kan bahwa yang menjodohkan Rena dengan cinta pertamanya lagi adalah aku. Memang sakit perasaanku, tapi aku benar-benar ingin membuatnya senang. Hanya itu saja.”

“Lalu saat aku mengenalmu di kelas XI teman-teman kita justru mencoba untuk menjodoh-jodohkan kita berdua. Dan puncaknya saat kita study tour ke Bali. Saat aku nembak kamu dan minta kamu menjadi pacarku. Kamu tahu gak saat itu keadaanku sedang bagaimana? Kamu tahu kalo aku baru saja minum dan mabuk saat itu.”

Hati yang telah kutata dan kukendalikan langsung bergoncang. Ini bukan seperti prediksiku. “Ya, aku tahu. Pernah ada seseorang yang mengatakan itu padaku namun ku tak percaya karena aku lebih percaya kamu.” Perisaiku hancur berkeping-keping, kurasakan mataku mulai panas. Namun ku coba untuk mengendalikan semuanya. Aku tak ingin air mata itu menetes di depan Dika. Aku ingin terlihat kuat di depannya. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa Mili yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Mili yang sekarang adalah gadis yang kuat.

Dika terus melanjutkan ceritanya, namun perasaanku seperti sudah mati rasa mendengar ceritanya yang lain, karena kejutan yang ia ceritakan tadi telah melumpuhkan sebagian otakku dan perasaanku. Cerita bahwa dia pernah selingkuh dengan kakak kelasku waktu masih berstatus sebagai pacarku sudah tak membuatku kaget.

Jam di ponselku menunjukkan pukul 21:00. Kostq sudah harus ditutup. Dika belum selesai melanjutkan ceritanya. Aku sendiri sudah tak sabar untuk mengunci diri di kamarku.

Air mata ini bercucuran deras bila mengingat saat-saat itu. Rasa sakit itu masih tersisa di hatiku karena luka itu telah membekas dan mungkin takkan pernah hilang seumur hidupku. Pada saat itulah aku tak pernah percaya dengan semua laki-laki di dunia ini kecuali ayahku.

Aku sudah tak mungkin kembali pada Dika. Semua yang ia lakukan padaku begitu menyakitkan dan membuatku tampak bodoh. Apalagi setelah ku tahu ternyata teman-temanku yang lain sudah tahu dan hanya aku sendiri yang dengan bodohnya tak tahu apa-apa. Dunia telah membohongi aku. Aku bagaikan seorang tokoh dalam sinetron yang sangat polos dan bodoh dan saking bodohnya itu membuat pemirsa yang menontonnya jengkel dan mengomel pada tokoh itu supaya sadar bahwa betapa bodoh dirinya.

Dika mulai mendekati aku, dan menurutnya ia baru sadar bahwa ia menyayangi aku. Namun aku sudah tetap pada pendirianku bahwa aku sudah tak mungkin kembali dengannya. Aku tak mau menjadi gadis polos dan bodoh serta tak teguh pendirian. Lagipula sudah ada seseorang yang mendampingi aku saat ini. Seseorang yang ikut terkena imbas dari krisis kepercayaanku pada semua cowok di dunia ini. Seorang cowok yang sangat ku sayang namun ku tak tahu apakah ia membalas perasaan sayangku. Aku sudah tak peduli dengan itu semua.

Seorang cowok bernama Awan yang dulu terkenal playboy. Sahabat SMP Lala. Aku menyayanginya namun ku tak yakin hubungan kami akan berlangsung lama karena saat ini kami sedang didera sebuah masalah.

Rasa percaya yang tadinya hampir muncul saat ku bersama Awan langsung pupus hanya karena masalah itu. Namun semuanya aku biarkan mengalir seperti air. Jika dia memang benar sayang padaku aku yakin dia akan kembali padaku dan mampu memahami semua perasaanku. Harapanku hanya satu. Memiliki seorang pendamping yang mampu menjaga dan menyayangiku tulus. Aku tak butuh cowok popular, pemain basket, atau yang lainnya karena sesungguhnya satu yang kubutuhkan yakni seseorang yang bisa menjaga, menjaga perasaanku dan ragaku serta yang tulus mencintai aku.

Sesungguhnya aku berharap Awan adalah orang yang bisa terus mendampingi aku hingga kita terpisahkan maut. Aku berdoa dan berharap dia adalah jodohku. Itu semua karena aku telah lelah. Mungkin bagi beberapa orang pikiranku sangat kolot. Pikiranku terlalu jauh untuk anak jaman sekarang. Namun, itulah prinsipku. Menurutku tak ada gunanya pacaran hanya untuk senang-senang. Karena jika pikiranku sependek itu, suatu saat aku hanya akan merasakan sakit seperti yang pernah kurasakan sebelumnya.

Hati dan perasaanku telah merelakan semuanya. Aku hanya ingin memiliki pendamping yang terbaik untukku. Apa gunanya jika aku terus bertahan apabila dia memang bukan jodohku. Aku yang sekarang telah berubah dan mau membuka mata lebar-lebar. Aku sadar tiap orang memiliki cinta sejatinya sendiri. Suatu saat aku pasti juga akan menemukan cinta sejatiku. Seseorang yang cinta sejatinya adalah aku. Saat itulah kami akan serius dan berpikir lebih jauh kedepan. Karena sekarang aku bukan anak SMA lagi. Aku adalah seorang mahasiswi yang tentunya bisa berpikir jauh ke depan.

Kuhapus sisa-sisa air mata di pipiku. Sungguh, aku benar-benar muak pada diriku sendiri jika harus menangis karena cowok. Tapi sekalipun mulutku berbicara aku tak akan menangis gara-gara seorang cowok hatiku tak bisa bohong, perasaanku sendiri tak bisa munafik memungkiri semua. Karena tiap kali hatiku tersakiti atau dikecewakan oleh orang yang aku sayang, air mata ini selalu tumpah. Tiap kali berusaha ku bendung air mata ini, justru akan keluar isakan dari sesaknya dadaku. Aku tak bisa memungkiri bahwa kami wanita memang makhluk yang halus dan lemah perasaannya.

Aku coba untuk menghadapi semua yang ku hadapi dengan tegar. Kutatap kerlip bintang kecil yang tak pernah lelah untuk berkerlip. Seolah memberitahuku bahwa jangan pernah menyerah dan trauma berkepanjangan. Hidup ini terus berjalan. Aku tak ingin membiarkan waktuku untuk terus bersedih. Bolehlah kita bersedih namun adalah hal paling bodoh jika kita terus menerus tidur dalam kesedihan kita padahal masih banyak yang perlu kita lakukan untuk dunia. Kerlip bintang kecil tetap memberi pengaruh pada dunia. Ikut menerangi langit malam dengan kerlip samarnya.

##@##