Pengen tahu REVIEW BOOK yang oke?? Atau pengen baca CERPEN karya orisinil dari anieztaa? Welcome to my worlds, It's all about "ANIEZTAA FEELS"

Monday, February 15, 2010

Charlie Si Jenius Dungu


Merupakan sebuah novel karya Daniel Keyes yang sangat memukau para pembacanya. Tak heran jika novel ini memperoleh penghargaan HUGO AWARD dan NEBULA AWARD. Novel yang terjual lebih dari 5 juta kopi ini memang pantas memperoleh penghargaan tersebut karena novel tersebut banyak memberikan pesan moral kepada para pembacanya. Gaya penulisan novel ini dibuat sesuai dengan laporan kemajuan Charlie. Pada awal-awal laporan kemajuan banyak sekali tulisan yang salah penulisan yang memang disengaja oleh penulis.

Baru kali ini aku membaca novel tertarik dari awal hingga akhir. Kebanyakan novel biasanya akan mulai menarik hanya saat mulai muncul konflik, tapi berbeda dengan yang satu ini.

Novel ini menceritakan seorang pria bernama Charlie yang berusia 32 tahun yang mengalami keterbelakangan mental sejak lahir dan hanya memiliki IQ 68. Kini ia berkerja di sebuah pabrik milik roti kenalan pamannya. Charlie yang dungu namun memiliki keramahan dalam senyumnya dan juga baik hati. Dia selalu ingin membuat orang lain tersenyum. Ia begitu senang dengan kawan-kawannya di pabrik yang sudah dianggapnya sahabat sendiri. Charlie senang bisa membuat teman-temannya senang dan tertawa dengan keberadaannya. Charlie tak mengerti bahwa mereka menertawakan kedunguannya, ia tak tahu bahwa mereka mempermainkannya sebagai badut serta mengejeknya. Ia ikut tertawa bersama orang-orang yang menertawakannya. Ia tak peduli dan tak mengerti alasan orang-orang tertawa, baginya ia bisa membuat orang lain tersenyum karenanya.

Masa lalu Charlie sungguh membuat air mata terus menetes tanpa henti ketika membacanya. Awalnya, orang tua Charlie memberi perhatian pada Charlie dan berusaha keras membuat Charlie kecil bertambah pintar seperti anak-anak normal seumurannya. Mamanya benar-benar memaksanya untuk belajar dan memukuli pantatnya tiap kali Charlie ngompol dan buang hajat di celananya. Ayah Charlie selalu membela anaknya, ia tak suka dengan sikap istrinya yang terus saja memaksa Charlie. Sungguh malang nasib Charlie. Sikap mamanya semakin menjadi saat akhirnya ia melahirkan seorang anak lagi. Seorang perempuan dan normal diberi nama Norma.

Mama Charlie, Rose selalu berusaha menjauhkan Charlie dari Norma karena ia takut kebodohan Charlie akan menular pada adiknya. Ketika Norma beranjak dewasa ia selalu membenci kakaknya. Ia merasa malu memiliki seorang kakak yang mengalami keterbelakangan mental. Akhirnya Rose memaksa Charlie untuk keluar dari rumah itu dengan mengancam Matt, ayah Charlie, akan membunuh Charlie jika ia tidak keluar dari rumah itu. Dengan terpaksa, Matt mengirimkan Charlie pada pamannya, Herman. Awalnya Charlie akan dikirim ke panti Warren namun ia pikir lebih baik jika Charlie bersamanya. Saat Paman Herman meninggal, ia menitipkan Charlie pada seorang temannya bernama Donner yang merupakan pemilik pabrik roti. Charlie senang mendapat keluarga baru. Ia bekerja di pabrik roti dengan menyapu dan mengirimkan barang-barang.

Charlie bersekolah di sekolah khusus orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental. Dan ia menjadi bahan percobaan Prof. Nemur dan Dr. Strauss yang mengadakan eksperimen untuk membuat orang-orang seperti dirinya menjadi pintar bahkan jenius. Sebelumnya mereka mengujikannya pada seekor tikus putih bernama Algernon yang menjadi pintar. Dan kini mereka mencoba mengujikannya pada manusia.

Charlie sangat senang menjadi bahan percobaan tersebut. Ia merasa bangga akan menjadi orang keterbelakangan mental yang pertama yang akan menjadi pintar. Ia membayangkan jika ia pintar dan membuat orang tuanya akan membanggakan dirinya di sekolah serta para tetangganya. Ia tak sabar menjadi pintar. Dan akhirnya ia menjalani sebuah operasi yang akan membuatnya menjadi pintar.

Awalnya perubahan itu tak terlihat, namun dari hari ke hari operasi itu menunjukkan hasil yang pesat. Charlie yang tadinya kesulitan membaca dan menulis kini mampu membaca dengan cepat buku-buku yang sulit dan mampu mengetik satu halaman dalam satu menit. Ia terus belajar segalanya. Bahasa, psikologi, dan semua dasar ilmu kalkulus. Charlie yang pada mulanya ber-IQ 68 kini ber-IQ 185. Kecerdasaanya melebihi orang-orang normal bahkan professor-professor di universitas. Namun seiring dengan kejeniusannya, ia banyak berubah. Ia tak ramah lagi seperti dulu. Ia membenci semua orang bahkan para dokter yang mengoperasinya karena ia pikir mereka tak menganggap dirinya sebagai seorang manusia. Ia bisa mengingat semua kenangannya saat ia dungu dan ia baru tahu bahwa orang-orang yang selama ini tersenyum dan tertawa ternyata mengolok-oloknya. Ia ingat betapa mamanya membenci kehadirannya di dunia ini. Ia ingat semua. Masa lalunya yang menyakitkan. Namun di balik Charlie jenius ternyata Charlie dungu masih berada di dalam dirinya. Dan terkadang Charlie dungu muncul di saat yang tak ia inginkan. Kecerdasan emosional Charlie tak sebaik IQ-nya. Emosi Charlie jenius tidak stabil, dia seolah selalu melihat bocah yang menunggu di dalam dirinya berada di manapun sedang menatapnya.

Charlie jenius tahu bahwa eksperimen itu memiliki kelemahan dan ia menyelidikinya. Ia terus meneliti Algernon dan lama kelamaan ia menemukan bahwa Algernon mengalami kemunduran mental dan tak lama kemudian tikus putih itu mati.

Charlie menyiapkan hati untuk itu semua. Bahwa ia nantinya akan kembali bodoh dan tinggal di panti Warren untuk menunggu sisa hidupnya. Ia akan mengalami kemunduran mental dan ia akan lupa dengan kejeniusannya. Ia akan lupa bahwa ia pernah mengalahkan semua professor di universitas. Ia akan lupa menulis dan membaca. Dan suatu saat nanti ia juga akan mengalami kematian fisik dan otak.

Novel yang menarik bukan? Di dalamnya juga dibumbui percintaan antara Charlie dengan guru di sekolah khusus orang dewasa keterbelakangan mental yang bernama Alice. Banyak hal yang di bahas dalam novel ini mengenai agama, sosial, percintaan, semuanya dipak lengkap dalam sebuah novel berjudul “Charlie Si Dungu Jenius.”

Thursday, February 4, 2010

Biola untuk Resa

“Eh, liat tuh Kak Raka lewat! Kyaaa! Ganteng banget ya Min? Uh, tatapan matanya itu lho, bikin meleleh. Ah, Kak Raka. Duh!”
“Iya Rin, gimana rasanya ya jadi ceweknya Kak Raka. Tiap hari dipandangin dengan tatapan maut Kak Raka. Nggak tahan deh, Rin. Cool banget. Ahhh.”
Raka bisa merasakan beberapa pasang mata menatapnya dari depan kelas. Namun, ia sengaja tak tahu. Dengan cueknya ia berjalan seperti biasa menuju ke kelasnya.
Adalah suatu hal yang sudah biasa terjadi padanya jika ia selalu menjadi perhatian cewek-cewek di kampusnya. Dari teman seangkatan, junior, bahkan senior pun banyak yang naksir dirinya. Bahkan, junior-junior cewek di kampusnya ada yang membuat sebuah club yang khusus berisikan para fans-fansnya. RFC alias Raka’s Fans Club.
Ia biarkan saja semua itu karena dia tak tertarik sedikit pun pada salah satu dari mereka. Baginya mereka sama sekali tidak menarik. Padahal, tak jarang dari mereka merupakan idola kampus.
Menurutnya, mereka hanya sekumpulan orang yang kurang kerjaan karena begitu mengagung-agungkan dirinya. Sampai saat ini belum ada seseorang yang bisa menarik perhatian Raka. Dia mencari sosok yang berbeda dari kebanyakan cewek pada umumnya yang selalu meneriakkan namanya jika ia lewat. Ia mencari sosok yang berbeda yang mampu menggetarkan hatinya.
^^_^6

“Eh, gimana kalo kita ngomongin di Trust Café aja? Makanan di sana enak-enak lho. Ada live music-nya juga. Enak deh buat nongkrong lama-lama.”
“Kalo aku sih terserah aja yang penting asik aja tempatnya. Kok aku baru denger kali ini? Emang itu Café baru, Gas?”
“Enggak kok udah lumayan lama. Aku juga baru tahu akhir-akhir ini. Mungkin gara-gara tempatnya kurang strategis. Padahal, di sana lumayan rame lho Ka.”
“Oke, di situ aja. Boleh juga tuh buat dicoba.”
Tak lama kemudian Agas membelokkan mobilnya dan memasuki suatu tempat yang asing bagi Raka.
“Eh, aku baru tahu ternyata di sini ada tempat kayak begini. Enak ya Gas tempatnya? Banyak banget pohonnya.”
“Kalo kemaren aku nggak nyasar sama cewekku di sini mungkin aku juga nggak bakal tahu itu Café.”
Agas menyetir dengan tenang sambil terkadang tampak mengingat-ngingat belokan yang harus ia lalui untuk sampai di Trust Café. Tak lama kemudian sampailah mereka di depan sebuah Café dengan arsitektur gaya Perancis. Dari luar tampak kecil, namun arsitekturnya sangat indah. Agas segera memarkir mobilnya di antara mobil-mobil lain. Tampaknya Café itu cukup dikenal dilihat dari banyaknya kendaraan pribadi terparkir di sana.
“Wah, boleh juga ni Gas. Keren nih arsitekturnya. Jangan-jangan mahal ni Gas?”
“Nggak juga, harga mahasiswa kok. Kebanyakan yang nongkrong di sini juga mahasiswa kayak kita. Fasilitasnya lengkap. Ada live music, hotspot, sama komik dan majalah lengkap tersedia di sini. Betah deh pokoknya kalo nongkrong di sini, Ka.”
“Heh, emang kamu dibayar berapa promosi ini Café? Hah? Udah kayak sales aja kamu promosi ini Café. Udah deh, daripada gue dengerin kamu mending langsung masuk aja. Ntar juga kan aku bisa liat sendiri.”
“Iya deh, bawel banget.”
Raka mendelik pada Agas. Memang kebiasaan Agas kalo ngomong suka lupa nggak berhenti. Nyerocos mulu kalo nggak diingetin buat diem.
Begitu memasuki Trust Café mereka berdua disambut oleh alunan biola ber-genre musik classic. Agas mencari-cari tempat yang kosong untuk duduk dan memilih tempat yang strategis untuk bisa menikmati live music yang disediakan oleh pemilik Café.
Setelah memesan makanan mereka berdua melanjutkan obrolan. Seperti biasa, Agas terus ngoceh tanpa henti. Raka mencari pemandangan lain karena bosan mendengar ocehan Agas yang mulai nggak karuan. Ngomongin ini kek, itu kek, sampai-sampai dia ngomongin kakek neneknya segala. Pandangan Raka berhenti pada seorang gadis yang memainkan biola sedari tadi. Gadis cantik yang mengenakan gaun berwarna putih. Gadis itu sangat pintar memainkan tangannya di antara dawai-dawai biola dengan tangan satunya menggesek dawai biola dengan penuh perasaan.
Begitu ia selesai memainkan sebuah lagu, semua penghuni Café bertepuk tangan meriah. Gadis itu seperti tanpa emosi. Setelah itu, ia pergi bersama seorang wanita paruh baya dan menggandeng wanita itu seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan ibunya. Hiburan berikutnya diisi oleh penampilan band lokal. Namun, penampilan mereka tak sebagus permainan biola gadis tadi. Orang-orang di Café melanjutkan obrolan mereka masing-masing dengan urusannya masing-masing. Atmosfer dalam Café itu seketika berubah. Yang tadinya begitu memperhatikan permainan biola sang gadis kini tak peduli dengan permainan band di atas panggung yang sibuk dengan permainannya.
^^_^6

Setelah hari itu, Raka menjadi sering nongkrong di Café itu baik dengan atau tanpa Agas. Baik dia ingin makan atau hanya memandangi gadis yang memainkan piano tiap malam tak lebih dari jam delapan malam. Raka sudah hafal jadwal gadis itu bermain biola di Café itu. Dan sejauh yang ia amati, gadis itu selalu ditemani wanita paruh baya yang setia menemani di dekatnya kala ia bermain biola.
Raka tak pernah melihat adanya emosi dari mata jernih gadis itu. Ia ingin sekali mengenal gadis yang pertama kali menarik perhatiannya itu. Dan, malam ini ia akan nekat berkenalan dengan gadis itu.
Begitu gadis itu menyelesaikan permainan biolanya yang memukau, Raka segera beranjak dari tempatnya duduk untuk menghampiri gadis itu sebelum gadis itu pulang.
“Hai, sapa Raka pada gadis yang akan beranjak pulang itu.”
Gadis itu menoleh pada Raka masih dengan tatapan mata tanpa emosi. Lalu ia beralih menatap biola yang tadi dimainkannya kini digantungkan di dinding Café dengan tatapan kosong dan ganjil.
“Maaf, ada perlu dengan Resa?” tanya wanita paruh baya tersebut.
“Oh, iya. Em, sebenarnya saya cuma ingin berkenalan dengan…ah ya Resa.” Tukas Raka mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Resa tak menanggapi uluran tangan Raka, hingga wanita paruh baya itu menarik tangan Resa untuk bersalaman dengan Raka. “Ah, maaf mohon anda maklum. Resa ini penderita autis, jadi dia sering tak memberi respon terhadap hal-hal di sekitarnya.”
Raka terkejut mendengar penuturan wanita itu. Hingga ia tak sempat menjawab wanita itu yang berpamitan pulang. Raka seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan wanita itu. Autis?
^^_^6

Begitu sampai di rumah dan berbaring di ranjangnya Raka kembali terngiang dengan apa yang dikatakan wanita tadi mengenai Resa. Ya, gadis itu bernama Resa. Ia memang pernah dengar bahwa orang autis terkadang memiliki kelebihan tertentu dibandingkan orang normal. Yang ia tahu, penyandang autis susah bersosialisasi dan berkomunikasi dengan lingkungannya namun di sisi lain mereka memiliki daya konsentrasi yang sangat tinggi sehingga tak jarang orang autis banyak yang sukses. Namun, ia tak menyangka Resa mengidap autisme.
Walaupun begitu, entah mengapa Raka sulit menghapus bayangan Resa dari ingatannya. Entah mengapa dirinya tak peduli dengan apa yang Resa idap. Yang ia ingat hanyalah saat-saat Resa memainkan biolanya dengan alunan yang syahdu dan mampu menghipnotis pendengarnya. Apa ini yang namanya cinta pandangan pertama? Sebuah perasaan yang tak memberi alasan logis pada dirinya. Yang ia inginkan saat ini adalah membuat wajah Resa tersenyum padanya.
^^_^6

Raka tak menyerah begitu saja akan perasaannya. Sekalipun sangat sulit bahkan hampir mustahil untuk bisa membuat Resa suka akan keberadaannya. Tiada hari tanpa Raka berada di Trust Café. Terkadang ia membawakan bunga untuk Resa begitu ia menyelesaikan permainan biolanya. Terkadang ia memberikan hadiah puzzle yang disukainya. Namun, tak jarang Resa menolak pemberian Raka dengan membuangnya begitu saja. Tapi Raka selalu sabar menghadapinya.
Lama kelamaan usaha Raka memberikan hasil. Resa selalu bertepuk tangan dan tertawa saat ia diberi puzzle oleh Raka. Raka sangat senang karena ia bisa melihat ekspresi senang dari raut wajah Resa yang jelita.
^^_^6

Hari ini Raka kembali datang untuk bertemu dengan gadis pujaannya, Resa. Namun, ia tak melihat kehadiran Resa dan ibunya malam ini. Bahkan, ia menunggu berjam-jam hingga Café itu tutup namun Resa tak datang. Apa gerangan yang menimpanya? Pikir Raka cemas.
Hari berikutnya Raka kembali datang namun tak juga menemukan kehadirannya. Demikian pula dengan hari-hari berikutnya hingga seminggu berlalu tanpa kehadiran Resa di Trust Café.
Akhirnya Raka memutuskan untuk mencari Resa. Ia benar-benar khawatir dengan Resa. Ia pun meminta alamat rumah Resa dari manajer Café itu. Ternyata rumah Resa tak jauh dari situ. Raka pun bergegas mencari alamat tersebut dan tiba pada sebuah rumah dengan nomor 3 tepat sesuai dengan apa yang tertulis di kertas yang diberikan manajer Café.
Raka memencet bel pintu rumahnya dan tak lama seorang wanita muda mengenakan seragam membukakan pintu.
“Maaf, mencari siapa ya mas?”
“Ini benar rumah Resa bukan mbak?”
“Iya benar, anda siapa ya? Ada keperluan apa dengan non Resa?”
“Saya Raka. Saya cuma ingin bertemu dengan Resa saja. Apa boleh?”
“Baik, tunggu sebentar di sini.” Wanita itu masuk ke dalam rumah lalu beberapa saat kemudian keluar dan mempersilakan Raka untuk masuk.
Tak lama kemudian Resa muncul bersama ibunya. Begitu melihat kedatangan Raka, raut muka Resa yang pucat tampak begitu senang dan ia meloncat-loncat. Ia berlari menghampiri Raka dan langsung memeluk Raka.
Raka kaget melihat respon Resa yang tak seperti biasanya. Ia tak menyangka Resa benar-benar senang dengan kehadirannya di situ.
“Raka, asal kamu tahu, Resa memeluk kamu itu berarti ia menyayangi kamu. Anak autis tak banyak menyayangi orang terkecuali orang terdekatnya misal ibunya. Tapi, ibu lihat Resa sayang dengan Raka. Sebelumnya Resa tak pernah memeluk orang kecuali ibu atau ayahnya.” Jelas ibu Resa sambil tersenyum.
Raka duduk dengan Resa di sampingnya yang menggandeng tangannya erat.
“Resa, ini Raka bawain puzzle kesukaan kamu.” Tukas Raka lembut pada Resa.
Dengan segera tangan Resa beralih pada puzzle pemberian Raka dan sibuk menyusunnya.
“Tante, kenapa Resa akhir-akhir ini tidak berada di Café?”
“Iya Raka, Resa selama seminggu ini demam jadi tante nggak mengijinkan dia bermain biola di Café. Sebenarnya dia marah karena dilarang bermain biola. Tapi tante akhirnya bisa mengalihkan perhatiannya dengan permainan menyusun balok di rumah.”
“Lho, Resa nggak punya biola sendiri tante?”
“Dulu ada, tapi dawai-dawai biolanya sudah putus. Tante sudah nggak mampu lagi membelikan Resa biola, karena tante juga harus menyekolahkan Resa di sekolah khusus. Jadi, Resa hanya bermain biola di sekolah atau di Café saja.”
Raka mengangguk paham. Ia lalu menemani Resa menyusun puzzle hingga ia tertidur karena kelelahan. Resa menatap wajah polos Resa yang sedang tertidur. Lalu, Raka pun berpamitan untuk pulang.
^^_^6

Hari ini Resa sudah sembuh dari sakitnya. Ia kembali memainkan biolanya di Café. Raka memandanginya dengan tersenyum. Seperti biasa, begitu Resa menyelesaikan permainannya ia akan menghampiri Resa.
“Resa, hari ini Raka bawa hadiah buat Resa yang pintar.” Tukas Raka pada Resa sambil menunjukkan hadiah yang dibawanya.
“Wah, kali ini apa Raka?” Tanya ibu Resa menerima hadiah itu.
“Nah, sekarang Resa coba buka hadiahnya!”
Resa membuka hadiah itu dengan senang. Ia dengan tak sabar merobek pembungkus hadiah itu. Dan ia menemukan sebuah biola cantik di dalamnya. Ia meloncat-loncat gembira melihat biola itu.
“Sekarang, Resa bisa main biola ini di rumah. Jadi nggak perlu capek-capek tiap malam ke sini untuk main biola. Ya?”
Resa mengangguk berkali-kali, ia lalu memeluk Raka dan dengan tergagap-gagap mengucapkan terimakasih pada Raka.
Raka senang bisa membuat Resa bahagia. Ia senang melihat gadis itu tertawa dan terkikik senang. Ya, cintanya mungkin tak berbalas. Namun, ia senang bisa melihat gadis yang ia sayang bahagia. Sebuah cinta tulus dari Raka.
^^_^6